Kabar baik bagi kita, dalam kita berusaha menjawab pertanyaan ini, adalah bahwa banyak yang dapat kita ketahui mengenai Allah! Anda yang membaca penjelasan ini mungkin akan lebih jelas kalau Anda membaca seluruh penjelasan ini lebih dahulu dan kemudian mengulangi mempelajari bagian-bagian Alkitab yang disebutkan supaya mendapatkan pemahaman yang lebih jelas. Referensi-referensi Alkitab mutlak diperlukan karena tanpa otoritas Alkitab apa yang dikatakan di sini tidak lebih dari sekedar opini manusia yang sering salah mengerti Tuhan (Ayub 42:7). Kita tidak pernah dapat mengatakan dengan cukup betapa pentingnya bagi kita untuk mencoba mengerti siapa Tuhan itu! Kegagalan kita mengerti siapa Tuhan akan menyebabkan kita membentuk, mengikuti dan menyembah illah yang salah yang berlawanan dengan kehendakNya (Keluaran 20:3-5).
Kita hanya dapat mengetahui apa yang Allah sendiri ungkapkan. Salah satu dari atribut atau qualitas Allah adalah "terang", yang artinya hanya Dia sendiri yang dapat mengungkapkan informasi mengenai diriNya (Yesaya 60:19; Yakobus 1:17). Fakta bahwa Allah telah mengungkapkan pengetahuan mengenai diriNya sendiri tidak boleh diabaikan begitu saja, supaya jangan ada seorang di antara kamu yang dianggap ketinggalan, sekalipun janji akan masuk ke dalam perhentian-Nya masih berlaku. (Ibrani 4:1). Ciptaan, Alkitab dan Sang Firman yang telah menjadi daging (Yesus Kristus) akan menolong kita untuk mengenal bagaimanakah Tuhan itu.
Mari kita mulai dengan memahami bahwa Tuhan Allah adalah Pencipta kita dan kita adalah bagian dari ciptaanNya (Kejadian 1:1; Mazmur 24:1). Tuhan berfirman bahwa manusia diciptakan menurut gambarNya. Manusia melampaui segala ciptaan dan diberikan kuasa atas ciptaan lainnya (Kejadian 1:26-28). Ciptaan telah dikotori oleh "kejatuhan" namun tetap memberikan gambaran mengenai karya Tuhan (Kejadian 3:17-18; Roma 1:19-20). Dengan mempertimbangkan luasnya ciptaan Tuhan, kompleksitasnya, keindahan dan keteraturannya, kita dapat membayangkan keluarbiasaan Tuhan.
Beberapa nama Tuhan berikut ini dapat menolong kita dalam usaha kita mengerti seperti apakah Tuhan itu.
Elohim " Yang kuat, illahi (Kejadian 1:1)
Adonai " Tuhan, mengindikasikan hubungan antara Majikan dan hamba (Keluaran 4:10, 13)
El Elyon " Yang Mahatinggi, Yang paling perkasa (Yesaya 14:20)
El Roi " Yang kuat Yang melihat (Kejadian 16:13)
El Shaddai " Allah yang Mahakuasa (Kejadian 17:1)
El Olam " Allah yang kekal (Yesaya 40:28)
Yahweh " TUHAN yang "adalah Aku", artinya Allah yang berada dengan sendirinya dalam kekekalan (Keluaran 3:13,14)
Mari kita melanjutkan mempelajari atribut-attibut lainnya dari Allah. Allah itu kekal, berarti Dia tidak berawal dan keberadaanNya tidak akan pernah berakhir. Dia kekal, tak terbatas (Ulangan 33:27; Mazmur 90:2; 1 Timotius 1:17). Allah itu tidak berubah, dan ini berarti Allah dapat dipercaya dan diandalkan (Maleakhi 3:6; Bilangan 23:19; Mazmur 102:26, 27). Allah tak terbandingkan, artinya tidak ada satupun yang seperti Dia dalam karya atau keberadaan; Dia tak ada taranya dan sempurna adanya (2 Samuel 7:22; Mazmur 86:8; Yesaya 40:25; Matius 5:48). Allah itu melampaui segala pengertian, artinya Dia tidak dapat diselami dan tidak dapat dipahami secara sempurna (Yesaya 40:28; Mazmur 145:3; Roma 11:33,34).
Allah itu adil, artinya Dia tidak membeda-bedakan seorang dengan yang lain (Ulangan 32:4; Mazmur 18:31). Allah Mahakuasa, artinya Dia berkuasa atas segalanya, Dia dapat melakukan apa saja yang dikehendakiNya, namun apa yang dilakukanNya senantiasa sesuai dengan karakterNya (Wahyu 19:6; Yeremia 32:17, 27). Allah Mahahadir, artinya Dia senantiasa hadir dan Dia hadir di mana-mana, namun tidak berarti segalanya adalah Tuhan (Mazmur 139:7-13; Yeremia 23:23). Allah Mahatahu, artinya Dia mengetahui masa dulu, sekarang dan akan datang, bahkan segala yang kita pikirkan. Karena Dia mengetahui segala sesuatu, keadilannya selalu ditegakkan (Mazmur 139:1-5; Amsal 5:21).
Allah itu Esa, artinya bukan saja tidak ada Allah lain, tapi juga berarti hanya Dia yang dapat memenuhi kebutuhan hati kita yang paling dalam, dan hanya Dia satu-satunya yang layak untuk kita sembah dan puja (Ulangan 6:4). Tuhan itu benar adanya, artinya Dia tidak bisa dan tidak akan membiarkan kesalahan. Karena kebenaran dan keadilanNya maka Yesus harus menanggung hukuman Tuhan karena dosa-dosa kita sehingga dosa-dosa kita dapat diampuni (Keluaran 9:27; Matius 27:45-46; Roma 3:21-26).
Allah berdaulat, artinya Dia adalah Pemegang kekuasaan tertinggi. Semua ciptaanNya, sadar atau tidak sadar, tidak dapat merusak rencana-rencanaNya (Mazmur 93:1; 95:3; Yeremia 23:20). Allah itu Roh, artinya Dia tidak kelihatan (Yohanes 1:18, 4:24). Allah adalah Allah Tritunggal, artinya tiga tapi satu, sama secara substansi, setara dalam kuasa dan kemuliaan. Perhatikan bahwa dalam Matius 28:19, dalam bahasa Inggris, "nama" adalah dalam bentuk tunggal sekalipun dipakai untuk tiga pribadi berbeda-"Bapa, Anak, Roh Kudus" (Matius 28:19; Markus 1:9-11). Allah adalah kebenaran, artinya Dia tidak pernah bertentangan dengan diriNya sendiri, dan tidak dapat melakukan yang tidak benar dan tidak berbohong (Mazmur 117:2; 1 Samuel 15:29).
Allah suci, artinya Dia tidak dapat bercampur dengan segala kerusakan moral dan menentang segala yang berdosa. Allah melihat kejahatan dan marah karenanya. Sering kali Alkitab menyebutkan api bersama-sama dengan kesucian. Allah dilukiskan sebagai api yang menghanguskan (Yesaya 6:3; Habakuk 1:13; Keluaran 3:2,4,5; Ibrani 12:29). Allah itu penuh anugrah " hal ini termasuk kebaikan, kemurahan, belas kasihan dan kasih " semua kata ini menggambarkan arti dari kebaikan Tuhan. Kalau bukan karena anugrah Tuhan, segala atribut Tuhan akan membuat kita terpisah daripadaNya. Kita bersyukur bahwa bukan demikian halnya karena Dia ingin mengenal setiap kita secara pribadi (Keluaran 22:27; Mazmur 31:20; 1 Petrus1:3; Yohanes 3:16; 17:3).
Ini adalah suatu usaha yang sederhana untuk menjawab sebuah pertanyaan besar. Kiranya Anda terus bersemangat untuk lebih mengenal Dia (Yeremia 29:13).
Apakah Allah ada? Saya merasa tertarik melihat begitu banyak perhatian yang diberikan kepada perdebatan ini. Survei terbaru mengatakan 90% masyarakat dunia percaya akan keberadaan Allah atau kuasa lain semacamnya. Namun demikian, tanggung jawab untuk membuktikan keberadaan Tuhan dilemparkan pada orang-orang yang percaya bahwa Tuhan ada. Menurut saya seharusnya terbalik.
Namun demikian, keberadaan Allah tidak dapat dibuktikan atau disangkal. Alkitab bahkan mengatakan bahwa kita harus menerima keberadaan Allah dengan iman. "Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia" (Ibrani 11:6). Jikalau Allah menghendaki, Dia bisa muncul begitu saja dan membuktikan pada seluruh dunia bahwa Dia ada. Namun jikalau Dia melakukan hal itu, tidak diperlukan iman. "Kata Yesus kepadanya: `Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya"" (Yohanes 20:29).
Tidak berarti bahwa tidak ada bukti keberadaan Allah. Alkitab menyatakan "Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam. Tidak ada berita dan tidak ada kata, suara mereka tidak terdengar; tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi (Mazmur 19:1-4). Saat memandang bintang-bintang, kala memahami luasnya alam semesta, ketika mengamati keajaiban alam dan menikmati keindahan matahari terbenam " semua ini menunjuk pada Allah sang Pencipta. Jikalau semua ini masih tidak cukup, di dalam hati kita masih ada bukti keberadaan Allah. Pengkhotbah 3:11 memberitahu kita, "bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Jauh di dalam diri kita ada suatu pengenalan bahwa ada sesuatu yang melampaui hidup dan dunia ini. Kita dapat secara intelektual menolak pengenalan ini, namun kehadiran Allah di dalam diri kita dan melalui diri kita akan terus ada. Sekalipun demikian, Alkitab memperingatkan kita bahwa beberapa orang akan terus menyangkal keberadaan Allah, "Orang bebal berkata dalam hatinya: `Tidak ada Allah"." (Mazmur 14:1). Karena lebih 98% orang-orang sepanjang sejarah, dalam semua kebudayaan dan peradaban, di semua benua, percaya akan adanya semacam Allah, pastilah ada sesuatu (atau seseorang) yang menyebabkan kepercayaan semacam ini.
Selain argumentasi Alkitab mengenai keberadaan Allah, ada pula argumentasi logis. Pertama-tama adalah argumentasi ontologis. Bentuk argumentasi ontologis yang paling populer pada dasarnya menggunakan konsep keTuhanan untuk membuktikan keberadaan Allah. Hal ini dimulai dengan mendefinisikan Allah sebagai, "sesuatu yang paling besar yang dapat dipikirkan." Dikatakan bahwa ada itu lebih besar dari tidak ada; dan karena itu keberadaan yang paling besar haruslah ada. Kalau Allah tidak ada, maka Allah bukanlah keberadaan terbesar yang dapat dipikirkan " namun hal ini akan berlawanan dengan definisi mengenai Allah. Argumentasi ke dua adalah argumentasi teleologis. Argumentasi teleologis mengatakan karena alam semesta mempertunjukkan desain yang begitu luar biasa, pastilah ada seorang desainer Illahi. Contohnya, kalau saja bumi lebih dekat atau lebih jauh beberapa ratus mil dari matahari, bumi ini tidak akan mampu mendukung kehidupan seperti yang ada sekarang ini. Jikalau unsur-unsur alam di atmosfir kita berbeda beberapa persen saja dari apa yang ada, semua mahluk hidup di atas bumi ini akan binasa. Kemungkinan untuk sebuah molekul protein terbentuk secara kebetulan adalah 1:10243 (yaitu angka 10 yang diikuti oleh 243 angka nol). Sebuah sel terdiri dari jutaan molekul protein.
Argumentasi logis ketiga mengenai keberadaan Allah disebut argumentasi kosmologis. Setiap akibat pasti ada penyebabnya. Alam semesta dan segala isinya adalah akibat atau hasil. Pastilah ada sesuatu yang mengakibatkan segalanya ada. Pada akhirnya, haruslah ada sesuatu yang "tidak disebabkan" yang mengakibatkan segala sesuatu ada. Sesuatu yang "tidak disebabkan" itu adalah Allah. Argumentasi keempat dikenal sebagai argumentasi moral. Setiap kebudayaan dalam sejarah selalu memiliki sejenis hukum/peraturan. Setiap orang memiliki perasaan benar dan salah. Pembunuhan, berbohong, mencuri dan imoralitas hampir selalu ditolak secara universal. Dari manakah datangnya perasaan benar dan salah ini kalau bukan dari Allah yang suci?
Sekalipun demikian, Alkitab memberitahu kita bahwa orang-orang akan menolak pengetahuan yang jelas dan tak dapat disangkal mengenai Allah, dan percaya kepada kebohongan. Roma 1:25 berseru, "Sebab mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan memuja dan menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya yang harus dipuji selama-lamanya, amin." Alkitab juga memproklamirkan bahwa manusia tidak dapat berdalih untuk tidak percaya kepada Allah, "Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih" (Roma 1:20).
Orang-orang menolak untuk percaya kepada Tuhan karena "tidak ilmiah" atau "karena tidak ada bukti." Alasan sebenarnya adalah begitu orang mengaku bahwa Allah itu ada, orang sadar bahwa mereka harus bertanggung jawab untuk segala sesuatu yang dilakukan. Kalau Allah tidak ada, maka kita bisa melakukan apa saja yang kita inginkan tanpa takut kepada Tuhan yang akan menghakimi kita. Saya percaya inilah sebabnya mengapa begitu banyak orang dalam masyarakat kita yang berpegang teguh pada evolusi, yaitu untuk memberi orang-orang alternatif untuk tidak percaya kepada Allah sang Pencipta. Allah ada dan pada akhirnya setiap orang tahu bahwa Allah ada. Bahkan fakta bahwa ada orang yang begitu sengitnya berusaha menolak keberadaan Allah pada dasarnya adalah merupakan bukti keberadaanNya.
Izinkan saya untuk memberikan argumentasi terakhir mengenai keberadaan Allah. Bagaimana saya bisa tahu bahwa Allah ada? Saya tahu Allah ada karena saya berbicara kepadaNya setiap hari. Saya tidak mendengar suaraNya berbicara kepada saya, namun saya merasakan kehadiranNya, saya merasakan pimpinanNya, saya mengenal kasihNya, saya merindukan anugerahNya. Banyak hal yang terjadi dalam hidup saya tidak dapat dijelaskan selain dari Tuhan. Dengan cara yang begitu ajaib Dia menyelamatkan saya dan mengubah hidup saya sehingga mau tidak mau saya harus mengakui dan mensyukuri keberadaanNya. Tidak ada satupun argumentasi ini yang secara sendirinya dapat meyakinkan seseorang yang terus menolak mengakui sesuatu yang sudah begitu jelas. Pada akhirnya, keberadaan Allah harus diterima melalui iman (Ibrani 11:6). Iman kepada Tuhan bukanlah iman yang buta, namun adalah melangkah dengan aman ke dalam ruangan yang terang di mana 90% orang sudah menanti.
Kita tahu bahwa Tuhan betul-betul ada karena Dia telah menyatakan diriNya kepada kita dengan tiga cara: dalam penciptaan, melalui firmanNya dan dalam diri AnakNya, Yesus Kristus.
Bukti paling dasar dari keberadaan Tuhan adalah apa yang telah Dia ciptakan. "Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka [orang-orang yang tidak percaya] tidak dapat berdalih" (Roma 1:20). "Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya" (Mazmur 19:2).
Kalau saya menemukan sebuah jam tangan di tengah lapangan, saya tidak akan menganggap bahwa jam tangan tsb "muncul" begitu saja, atau memang sudah ada dengan sendirinya. Berdasarkan desain dari jam tangan tsb saya mengasumsikan bahwa ada orang yang mendesain jam tangan itu. Namun saya melihat ada desain dan ketepatan yang lebih agung dalam dunia sekitar kita. Cara kita menghitung waktu bukan berdasarkan pada jam tangan, namun berdasarkan karya agung Tuhan, perputaran bumi (dan kandungan radioaktif dari atom Cesium-133). Alam semesta menyatakan desain yang luar biasa, dan semua ini memperlihatkan adanya sang Desainer Agung.
Jikalau saya menemukan berita yang disandikan, saya akan mencari seorang pemecah sandi untuk memecahkan kode berita itu. Asumsi saya adalah bahwa pasti ada seorang pengirim berita, seseorang cerdas yang menciptakan kode itu. Bagaimana kompleksnya "kode" DNA dalam setiap sel tubuh kita? Bukankah kompleksitas dan tujuan dari DNA menyatakan adanya Penulis kode yang berakal budi?
Bukan saja Tuhan telah menciptakan dunia yang begitu kompleks dan teratur, Dia juga telah menanamkan rasa kekekalan dalam diri setiap insan (Pengkhotbah 3:11). Umat manusia memiliki naluri yang tajam bahwa hidup ini bukan hanya yang kelihatan saat ini saja; bahwa ada suatu keberadaan yang melampaui apa yang ada di bumi ini. Naluri kekekalan kita menyatakan diri dalam paling sedikit dua hal: hukum dan penyembahan.
Setiap peradaban dalam sejarah memiliki aturan-aturan hukum tertentu yang secara mengejutkan memiliki kesamaan dari budaya yang satu ke budaya lainnya. Contohnya kasih dihargai di mana-mana, sementara kebohongan dicela secara universal. Ini adalah moralitas umum, suatu pengertian global mengenai benar dan salah, yang menunjuk pada Dia, Pribadi yang Bermoral Tertinggi, yang memberikan perasaan benar dan salah seperti itu kepada kita.
Demikian pula orang-orang di seluruh dunia, tanpa memandang budaya, selalu memiliki sistim penyembahan. Obyek penyembahan itu sendiri mungkin berbeda, namun perasaan adanya "kuasa yang lebih tinggi" adalah merupakan bagian yang tak dapat disangkal dalam diri manusia. Kecenderungan kita untuk menyembah adalah sesuai dengan fakta bahwa Tuhan menciptakan kita "dalam gambarNya" (Kejadian 1:27).
Tuhan juga telah mengungkapkan diriNya kepada kita melalui FirmanNya, Alkitab. Dalam Alkitab, keberadaan Allah dipelakukan sebagai fakta yang sudah jelas (Kejadian 1:1; Keluaran 3:14). Ketika Benjamin Franklin menuliskan Autobiography-nya, dia tidak menghabiskan waktu untuk membuktikan bahwa dia ada. Demikian pula Tuhan tidak menghabiskan waktu untuk membuktikan keberadaanNya dalam kitab yang ditulisNya. pribadiAlkitab yang mampu mengubah hidup, integritasnya, dan mujizat penulisannya seharusnya cukup untuk membuat kita menaruh perhatian pada Alkitab.
Cara ketiga Tuhan menyatakan dirinya adalah melalui anakNya, Yesus Kristus (Yohanes 14:6-11). Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah" Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, (Yohanes 1:1, 14). Di dalam Yesus Kristus, berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan keAllahan" (Kolose 2:9).
Dalam kehidupan Yesus yang luarbiasa, Dia memelihara seluruh hukum Perjanjian Lama dengan sempurna dan menggenapkan nubuat-nubuat mengenai Mesias (Matius 5:17). Dia melakukan begitu banyak karya yang menyatakan belas kasihannya, Dia mengerjakan mujizat-mujizat di depan umum yang mengesahkan berita yang disampaikannya dan membuktikan keillahianNya (Yohanes 21:24-25). Kemudian, tiga hari setelah penyalibanNya, Dia bangkit dari orang mati, sebuah fakta yang diteguhkan oleh ratusan saksi-saksi mata (1 Korintus 15:6). Catatan sejarah dipenuhi dengan "bukti" mengenai siapakah Yesus itu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Rasul Paulus, "Perkara ini tidak terjadi di tempat yang terpencil" (Kisah 26:26).
Kita sadar bahwa selalu ada orang yang sulit percaya, orang-orang yang punya ide sendiri mengenai Tuhan dan menafsirkan bukti-bukti dengan semaunya. Dan akan ada pula sebagian orang yang bukti sebanyak apapun tidak akan dapat meyakinkan mereka (Mazmur 14:1). Pada akhirnya semuanya adalah iman (Ibrani 11:6).
Hal yang paling sulit dalam konsep Kristiani mengenai Tritunggal adalah tidak adanya penjelasan yang cukup untuk itu. Tritunggal adalah konsep yang tidak mungkin dapat dimengerti secara penuh oleh manusia apalagi untuk dijelaskan. Allah jauh lebih besar dan agung dari kita karena itu jangan berharap bahwa kita dapat memahami Dia secara penuh. Alkitab mengajarkan bahwa Bapa adalah Allah, Yesus adalah Allah, dan Roh Kudus adalah Allah. Alkitab juga mengajarkan bahwa hanya ada satu Allah. Meskipun kita memahami beberapa hal mengenai hubungan antar Pribadi dalam Tritunggal, pada akhirnya kita tetap tidak dapat mengerti secara keseluruhan. Namun demikian, tidak berarti bahwa Tritunggal tidak benar atau bukan berdasarkan ajaran Alkitab.
Ketika mempelajari topik ini kita perlu ingat bahwa kata "Tritunggal (Trinitas)" tidak digunakan dalam Alkitab. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan ketritunggalan Allah, yaitu Allah yang terdiri dari tiga Pribadi yang berada bersama dalam kekekalan. Haruslah dimengerti bahwa ini TIDAK berarti ada tiga Allah. Tritunggal berarti satu Allah yang terdiri dari tiga Pribadi. Tidak ada salahnya menggunakan istilah Tritunggal atau Trinitas walaupun istilah ini tidak ditemukan dalam Alkitab. Lebih gampang mengucapkan "Tritunggal" atau "Trinitas" daripada mengatakan "Allah yang Esa yang terdiri dari tiga Pribadi yang berada bersama dalam kekekalan." Jikalau Anda keberatan dengan ini, coba pertimbangkan: kata kakek juga tidak ada dalam Alkitab walaupun kita tahu bahwa dalam Alkitab ada banyak kakek. Abraham adalah kakek dari Yakub. Jadi jangan kandas pada istilah "Tritunggal" itu sendiri. Apa yang penting adalah bahwa konsep yang DIWAKILI oleh kata "Tritunggal" ada dalam Alkitab. Setelah pendahuluan ini, kita akan melihat ayat-ayat Alkitab yang mendiskusikan Tritunggal.
1) Allah itu Esa: Ulangan 6:4; 1 Korintus 8:4; Galatia 3:20; 1 Timotius 2:5
2) Tritunggal terdiri dari tiga Pribadi: Kejadian 1:1; 1:26; 3:22; 11:7; Yesaya 6:8; 48:16; 61:1; Matius 3:16-17; Matius 28:19; 2 Korintus 13:14. Untuk ayat-ayat dari Perjanjian Lama, pemahaman Bahasa Ibrani sangatlah menolong. Dalam Kejadian 1:1, kata "Elohim" adalah dalam bentuk jamak. Dalam Kejadian 1:26; 3:22; 11:7 dan Yesaya 6:8, kata jamak "kita" yang digunakan. Dalam Bahasa Inggris hanya ada dua bentuk kata, tunggal dan jamak. Dalam Bahasa Ibrani ada tiga macam bentuk kata: tunggal, dual dan jamak. Dual HANYA digunakan untuk dua. Dalam Bahasa Ibrani, bentuk dual digunakan untuk hal-hal yang berpasangan, seperti mata, telinga dan tangan. Kata "Elohim" dan kata ganti "kita" adalah dalam bentuk jamak- jelas lebih dari dua " dan menunjuk pada tiga atau lebih dari tiga (Bapa, Anak, Roh Kudus).
Dalam Yesaya 48:16 dan 61:1 sang Anak berbicara dan merujuk pada Bapa dan Roh Kudus. Bandingkan Yesaya 61:1 dengan Lukas 4:14-19 untuk melihat bahwa yang berbicara adalah Anak. Matius 3:16-17 menggambarkan peristiwa pembaptisan Yesus. Dalam peristiwa ini kelihatan bahwa Allah Roh Kudus turun ke atas Allah Anak sementara pada saat bersamaan Allah Bapa menyatakan bagaimana Dia berkenan dengan sang Anak. Matius 28:19 dan 2 Korintus 13:14 adalah contoh mengenai tiga Pribadi berbeda dalam Tritunggal.
3) Pribadi-Pribadi dalam Tritunggal dibedakan dari satu dengan yang lainnya dalam berbagai ayat. Dalam Perjanjian Lama, "TUHAN" berbeda dari "Tuhan" (Kejadian 19:24; Hosea 1:4). TUHAN memiliki "Anak" (Mazmur 2:7; 12; Amsal 30:2-4). Roh Kudus dibedakan dari "TUHAN" (Bilangan 27:18) dan dari "Allah" (Mazmur 51:12-14). Allah Anak dibedakan dari Allah Bapa (Mazmur 45:7-8; Ibrani 1:8-9). Dalam Perjanjian Baru, Yohanes 14:16-17, Yesus berbicara kepada Bapa tentang mengutus Sang Penolong, yaitu Roh Kudus. Hal ini menunjukkan bahwa Yesus tidak memandang diriNya sebagai Bapa atau Roh Kudus. Perhatikan pula saat-saat lain dalam kitab-kitab Injil ketika Yesus berbicara kepada Bapa. Apakah Dia berbicara kepada diri sendiri? Tidak. Dia berbicara kepada Pribadi lainnya dalam Tritunggal, - Sang Bapa.
4) Setiap Pribadi dalam Tritunggal adalah Allah. Bapa adalah Allah: Yohanes 6:27; Roma 1:7; 1 Petrus 1:2. Anak adalah Allah: Yohanes 1:1, 14; Roma 9:5; Kolose 2:9; Ibrani 1:8; Yohanes 5:20. Roh Kudus adalah Allah: Kisah Rasul 5:3-4; 1 Korintus 3:16 (Yang mendiami adalah Roh Kudus " Roma 8:9; Yohanes 14:16-17; Kisah Rasul 2:1-4).
5) Subordinasi dalam Tritunggal: Alkitab memperlihatkan bahwa Roh Kudus tunduk (subordinasi) kepada Bapa dan Anak, dan Anak tunduk (subordinasi) kepada Bapa. Ini adalah relasi internal dan tidak mengurangi atau membatalkan keillahian dari setiap Pribadi dalam Tritunggal. Ini mungkin adalah bagian dari Allah yang tidak terbatas yang tidak dapat dimengerti oleh pikiran kita yang terbatas. Mengenai Anak, lihat Lukas 22:42; Yohanes 5:36; Yohanes 20:21; 1 Yohanes 4:14. Mengenai Roh Kudus lihat Yohanes 14:16; 14:26; 15:26; 16:7, dan khususnya Yohanes 16:13-14.
6) Pekerjaan dari setiap Pribadi dalam Tritunggal: Bapa adalah Sumber utama atau Penyebab utama dari a) alam semesta (1 Korintus 8:6; Yohanes 1:3; Kolose 1:16-17); b) pewahyuan illahi (Yohanes 1:1; Matius 11:27; Yohanes 16:12-15; Wahyu 1:1); c) keselamatan (Yohanes 3:16-17); dan d) pekerjaan Yesus sebagai manusia (Yohanes 5:17; 14:10). Bapa MEMULAI semua ini.
Anak adalah agen yang melaluiNya Bapa melakukan karya-karya sbb: 1) penciptaan dan memelihara alam semesta (1 Korintus 8:6; Yohanes 1:3; Kolose 1:16-17); 2) pewahyuan illahi (Yohanes 1:1; Matius 11:27; Yohanes 16:12-15; Wahyu 1:1); 3) keselamatan (2 Korintus 5:19; Matius 1:21; Yohanes 4:42). Bapa melakukan semua ini melalui Anak yang berfungsi sebagai Agen Allah.
Roh Kudus adalah alat yang dipakai Bapa untuk melakukan karya-karya berikut ini: 1) penciptaan dan memelihara alam semesta (Kejadian 1:2; Ayub 26:13; Mazmur 104:30); 2) pewahyuan illahi (Yohanes 16:12-15; Efesus 3:5; 2 Petrus 1:21); dan 3) keselamatan (Yohanes 3:6; Titus 3:5; 1 Petrus 1:2); dan pekerjaan-pekerjaan Yesus (Yesaya 61:1; Kisah Rasul 10:38). Bapa melakukan semua ini dengan kuasa Roh Kudus.
Tidak ada ilustrasi-ilustrasi yang sering dipakai yang dapat dengan akurat menjelaskan Tritunggal. Telur (atau apel) tidak tepat karena kulit telur, putih telur dan kuning telur, semua adalah bagian dari telur dan bukan secara sendirinya telur. Bapa, Anak dan Roh Kudus bukanlah bagian dari Allah namun setiap mereka adalah Allah. Ilustrasi yang menggunakan air sedikit lebih bagus dalam menjelaskan Tritunggal, namun tetap tidak cukup. Cairan, uap dan es adalah bentuk-bentuk dari air. Bapa, Anak dan Roh Kudus bukanlah bentuk-bentuk dari Allah, setiap Pribadi itu adalah Allah. Dengan demikian, walaupun ilustrasi-ilustrasi ini memberi gambaran mengenai Tritunggal, gambaran yang diberikan tidak selalu akurat. Allah yang tidak terbatas tidak dapat digambarkan secara penuh dengan ilustrasi yang terbatas. Daripada menfokuskan diri pada Tritunggal, cobalah fokuskan diri pada kebesaran Allah dan bahwa Dia jauh lebih agung dari kita. "O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya?" (Roma 11:33-34).
Mengapa hal-hal tidak baik terjadi pada orang baik? Ini adalah salah satu pertanyaan yang sulit dijawab. Allah adalah kekal, tak terbatas, maha tahu, maha hadir, maha kuasa, dll. Bagaimana mungkin kita manusia (yang tidak kekal, terbatas, tidak maha tahu, tidak maha kuasa atau tidak maha hadir) dapat mencoba memahami jalan-jalan Tuhan secara sepenuhnya? Kitab Ayub membicarakan soal ini. Tuhan mengijinkan Iblis melakukan apa saja terhadap Ayub, asal jangan membunuh dia. Bagaimana reaksi Ayub? "Lihatlah, walaupun Ia hendak membunuh aku, aku hendak berharap kepadaNya (Ayub 13:15 " terjemahan dari NIV) "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!" (Ayub 1:21). Ayub tidak memahami mengapa Tuhan mengijinkan semua yang terjadi, namun dia tahu bahwa Tuhan itu baik dan karena itu dia tetap percaya kepadaNya. Pada akhirnya itu seharusnya juga menjadi sikap kita. Allah itu baik, adil, pengasih dan pemurah. Sering kali kita tidak bisa mengerti hal-hal yang terjadi. Namun demikian, daripada meragukan kebaikan Tuhan, kita seharusnya percaya kepadaNya. "Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu" (Amsal 3:5-6).
Barangkali pertanyaan yang lebih baik adalah, "Mengapa hal-hal yang baik terjadi pada orang jahat?" Tuhan itu suci (Yesaya 6:3; Wahyu 4:8). Umat manusia berdosa adanya (Roma 3:23; 6:23). Anda mau tahu bagaimana Tuhan memandang manusia? "Seperti ada tertulis: "Tidak ada yang benar, seorangpun tidak. Tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak. Kerongkongan mereka seperti kubur yang ternganga, lidah mereka merayu-rayu, bibir mereka mengandung bisa. Mulut mereka penuh dengan sumpah serapah, kaki mereka cepat untuk menumpahkan darah. Keruntuhan dan kebinasaan mereka tinggalkan di jalan mereka, dan jalan damai tidak mereka kenal; rasa takut kepada Allah tidak ada pada orang itu." (Roma 3:10-18). Setiap manusia di bumi ini pantas untuk dilempar ke dalam neraka pada saat ini juga. Setiap detik yang kita hidupi itu adalah karena anugrah Tuhan. Bahkan kesengsaraan yang paling mengerikan yang kita alami dalam dunia ini masih ringan dibanding dengan apa yang kita pantas dapatkan, neraka lautan api untuk selama-lamanya.
"Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa" (Roma 5:8). Tanpa menghiraukan kejahatan dan pribadidosa dari orang-orang dalam dunia ini, Allah tetap mengasihi kita. KasihNya cukup untuk membuat Dia mati untuk menanggung hukuman dosa-dosa kita (Roma 6:23). Yang kita perlu lakukan hanyalah percaya kepada Yesus Kristus (Yohanes 3:16; Roma 10:9) supaya memperoleh pengampunan dan janji rumah surgawi (Roma 8:1). Apa yang kita pantas dapat adalah neraka. Apa yang kita diberikan adalah hidup kekal di surga asal kita bersedia untuk percaya. Dikatakan bahwa dunia ini adalah satu-satunya neraka yang dialami oleh orang-orang percaya dan dunia ini adalah satu-satunya surga yang akan dinikmati oleh orang-orang yang tidak percaya. Lain kali waktu kita bertanya, "Mengapa Tuhan mengijinkan hal-hal yang tidak baik terjadi pada orang baik?" mungkin kita lebih baik bertanya, "Mengapa Tuhan mengijinkan hal-hal yang baik terjadi pada orang jahat?"
Bertrand Russell, seorang ateis, menulis dalam bukunya "Mengapa Saya Bukan Seorang Kristen" bahwa kalau benar bahwa segala sesuatu perlu penyebab, maka Allah juga perlu ada penyebab. Dari sini dia menyimpulkan bahwa jika Allah perlu ada penyebab, maka Allah bukan Allah (dan jikalau Allah bukan Allah, maka berarti tidak ada Allah). Pada dasarnya ini hanyalah suatu bentuk yang sedikit lebih tinggi dari pertanyaan anak-anak, "Siapa yang membuat Allah?" Bahkan anak kecilpun tahu bahwa apa yang ada tidak berasal dari yang tidak ada, jadi jikalau Allah adalah "sesuatu" maka pasti ada yang menyebabkan Allah, begitu bukan?
Pertanyaan ini menjebak karena di dalamnya terselip asumsi yang salah bahwa Allah pasti berasal dari sesuatu dan kemudian bertanya dari mana datangnya Allah. jawabannya adalah bahwa pertanyaan seperti itu sama sekali tidak masuk akal. Pertanyaan seperti itu sama dengan mempertanyakan, "Bagaimana bau warna biru?" Biru bukan termasuk sesuatu yang punya bau, sehingga dengan demikian pertanyaan itu sendiri mengandung kesalahan. Demikian pula, Allah tidak termasuk dalam kategori sesuatu yang diciptakan atau yang memiliki asal usul. Allah tidak memiliki penyebab dan tidak diciptakan " Allah berada begitu saja.
Bagaimana kita mengetahui hal ini? Kita tahu bahwa dari tidak ada, tidak ada yang menjadi ada. Jadi kalau suatu saat, segala sesuatu betul-betul tidak ada, maka tidak ada sesuatu apapun yang akan menjadi ada. Tapi ternyata ada sesuatu yang berada. Karena tidak mungkin sama sekali tidak ada apa-apa, maka ada sesuatu yang harus selalu ada. Sesuatu yang selalu ada itu adalah yang kita sebut Allah.
Alkitab mencatat bahwa Allah berulang kali berbicara dengan cara yang dapat didengar kepada bermacam-macam orang (Keluaran 3:14; Yosua 1:1; Hakim-Hakim 6:18; 1 Samuel 3:11; 2 Samuel 2:1; Ayub 40:1; Yesaya 7:3; Yeremia 1:7; Kisah Rasul 8:26; 9:15 " ini hanya beberapa contoh saja). Pada zaman ini, tidak ada alasan Alkitabiah mengapa Tuhan tidak bisa atau tidak mau berbicara kepada seseorang dengan cara yang dapat didengar. Dari ratusan kali Allah berbicara sebagaimana dicatat dalam Alkitab, kita perlu mengingat bahwa itu terjadi dalam kurun waktu 4000 tahun sejarah manusia. Allah berbicara secara kedengaran adalah kekecualian, bukan kebiasaan. Bahkan saat Alkitab mengatakan Tuhan berbicara, tidaklah jelas apakah itu adalah dengan suara yang kedengaran, dalam hati atau kesan yang muncul dalam pikiran.
Allah masih tetap berbicara kepada orang-orang pada zaman sekarang ini. Pertama-tama, Allah berbicara kepada kita melalui FirmanNya (2 Timotius 3:16-17). Yesaya 55:11 memberitahu kita, "Demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya" (Yesaya 55:11). Alkitab mencatat kata-kata Tuhan kepada kita dalam segala hal yang kita perlu ketahui untuk diselamatkan dan untuk menghidupi kehidupan Kristiani kita. 2 Petrus 1:3-4 mengatakan, "Karena kuasa ilahi-Nya telah menganugerahkan kepada kita segala sesuatu yang berguna untuk hidup yang saleh oleh pengenalan kita akan Dia, yang telah memanggil kita oleh kuasa-Nya yang mulia dan ajaib. Dengan jalan itu Ia telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan yang sangat besar, supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi, dan luput dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia" (2 Petrus 1:3-4).
Kedua, Allah berbicara melalui kesan, kejadian dan pikiran. Allah menolong kita untuk membedakan yang benar dari yang salah melalui hati nurani kita (1 Timotius 1:5; 1 Petrus 3:16). Allah sementara bekerja menyamakan pikiran kita dengan pikiranNya (Roma 12:2). Allah mengijinkan kejadian-kejadian dalam hidup kita untuk mengarahkan kita, mengubah kita dan menolong kita bertumbuh secara rohani (Yakobus 1:2-5; Ibrani 12:5-11). 1 Petrus 1:6-7 mengingatkan kita, "Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu--yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api--sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya" (1 Petrus 1:6-7).
Akhirnya, ya, Tuhan kadang-kadang berbicara secara kedengaran kepada orang. Namun sangat diragukan bahwa hal ini terjadi sesering yang diakui oleh sebagian orang. Sekali lagi, bahkan di dalam Alkitab, Allah berbicara dengan bersuara sebagai suatu kekecualian, bukan kebiasaan. Jika ada orang yang mengakui bahwa Tuhan telah berbicara kepadanya, bandingkan dengan apa yang Alkitab katakan. Jikalau Allah berbicara saat ini, kata-katanya akan sesuai dengan yang apa yang telah dikatakanNya dalam Alkitab. Allah tidak berkontradiksi dengan diriNya sendiri. 2 Timotius 3:16-17 mengatakan, "Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik" (2 Timotius 3:16-17).
Apa artinya Allah adalah kasih? Pertama-tama kita perlu melihat bagaimana Firman Tuhan, Alkitab, menggambarkan "kasih," dan kemudian kita akan melihat beberapa cara pengajaran ini diterapkan pada Allah. "Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap" (1 Korintus 13:4-8).
Ini adalah cara Allah menggambarkan kasih. Allah adalah seperti yang digambarkan itu, dan orang Kristen perlu menjadikan ini sebagai tujuan mereka (walaupun selalu dalam proses). Ekspresi yang paling utama dari kasih Allah dikomunikasikan kepada kita dalam Yohanes 3:16 dan Roma 5:8. "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal" (Yohanes 3:16). "Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa" (Roma 5:8). Dari ayat-ayat ini kita bisa melihat bahwa Allah sangat menginginkan kita bersama-sama dengan Dia dalam rumahNya yang kekal, Surga. Dia telah membuka jalan dengan membayar harga dosa-dosa kita. Dia mengasihi kita karena Dia memilih untuk melalukan hal itu. "Hati-Ku berbalik dalam diri-Ku, belas kasihan-Ku bangkit serentak" (Hosea 11:8). Kasih mengampuni. "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan" (1 Yohanes 1:9).
Kasih (Allah) tidak memaksakan diri pada orang lain. Orang-orang yang datang kepadaNya, datang kepadaNya sebagai respons terhadap kasihNya. Kasih (Allah) menyatakan kemurahan pada semua orang. Kasih (Yesus) berbuat baik kepada semua orang tanpa memandang bulu. Kasih (Yesus) tidak cemburu pada apa yang orang lain miliki, hidup sederhana tanpa mengeluh. Kasih (Yesus) tidak membesar-besarkan diri sekalipun Dia dapat mengalahkan semua orang lain. Kasih (Allah) tidak menuntut ketaatan. Allah tidak menuntut ketaatan dari sang Anak, namun sang Anak secara sukarela menaati BapaNya di surga. "Dunia tahu, bahwa Aku mengasihi Bapa dan bahwa Aku melakukan segala sesuatu seperti yang diperintahkan Bapa kepada-Ku" (Yohanes 14:31). Kasih (Yesus) selalu memperhatikan kepentingan orang lain.
Gambaran singkat mengenai kasih ini mengungkapkan hidup yang tidak mementingkan diri sendiri, sesuatu yang bertentangan dengan hidup mementingkan sendiri dari dunia ini. Yang luar biasa, Tuhan telah memberikan kepada mereka yang menerima AnakNya, Yesus, sebagai Juruselamat mereka dari dosa, kemampuan untuk mengasihi sebagaimana Dia mengasihi. Dia memberikan ini melalui kuasa Roh Kudus (lihat Yohanes 1:12; 1 Yohanes 3:1, 23, 24). Suatu tantangan dan hak istimewa yang luarbiasa!
Saya percaya bahwa pada pertanyaan ini didasarkan pada salah pengertian yang mendasar mengenai apa yang Perjanjian Lama dan Baru ungkapkan mengenai pribadi Allah. Cara lain untuk mengekspresikan pemikiran yang sama adalah waktu orang mengatakan, "Allah Perjanjian Lama adalah Allah yang murka sedangkan Allah Perjanjian Baru adalah Allah yang mengasihi." Fakta bahwa Alkitab adalah penyataan diri Allah secara progressif melalui peristiwa-peristiwa sejarah dan cara Allah berhubungan dengan manusia sepanjang sejarah memungkinkan terjadinya salah pengertian terhadap Allah dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Namun ketika orang membaca baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru langsung jelas bahwa Allah tidak berbeda dan bahwa murka dan kasih Allah diungkapkan dalam kedua Perjanjian.
Contohnya, dalam Perjanjian Lama Allah dikatakan sebagai "penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya" (Keluaran 34:6; Bilangan 34:6; Ulangan 4:31; Nehemia 9:17; Mazmur 86:5; 15; 108:4; 145:8; Yoel 2:13), dan di dalam Perjanjian Baru kasih setia dan kemurahan Allah dinyatakan dengan lebih jelas dalam pernyataan, "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal" (Yohanes 3:16). Dalam Perjanjian Lama kita juga menemukan bahwa Allah memperlakukan Israel dengan cara yang sama seperti seorang ayah yang pengasih terhadap anak-anaknya. Saat mereka secara sengaja berdosa kepadaNya dan menyembah berhala, Tuhan akan menghukum mereka, namun setiap kali mereka bertobat dari penyembahan berhala, Tuhan menolong dan membebaskan mereka. Allah juga bersikap demikian terhadap orang-orang Kristen dalam Perjanjian Baru. Misalnya, Ibrani 12:6 memberitahu kita, "Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak" (Ibrani 12:6).
Demikian pula dalam Perjanjian Lama kita melihat penghakiman dan murka Tuhan dicurahkan atas orang-orang berdosa yang tidak mau bertobat. Dalam Perjanjian Baru kita melihat bahwa "Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman." (Roma 1:18). Bahkan sekalipun kita hanya membaca Perjanjian Baru secara sekilas, kita akan melihat dengan jelas bahwa Yesus berbicara lebih banyak mengenai neraka daripada mengenai surga. Jadi jelas bahwa dalam Perjanjian Lama Allah tidak berbeda dengan dalam Perjanjian Baru. Berdasarkan naturnya, Allah tidak dapat berubah dan walaupun dalam ayat-ayat Alkitab tertentu aspek tertentu dari natur Allah lebih ditekankan dari aspek-aspek lainnya, Allah sendiri tidak pernah berubah.
Ketika seseorang betul-betul membaca dan mempelajari Alkitab, nyata dengan jelas bahwa dalam Perjanjian Lama dan Baru Allah tidak berbeda. Dan sekalipun Alkitab terdiri dari 66 kitab yang bebeda, ditulis di tiga benua, dalam tiga bahasa, dalam kurun waktu sekitar 1500 tahun, oleh lebih dari 40 penulis (dari berbagai latar belakang), Alkitab tetap merupakan satu kesatuan dari awal sampai akhir tanpa kontradiksi. Dalam Alkitab kita menemukan bagaimana Allah dengan kasih, kemurahan dan keadilan memperlakukan orang-orang berdosa dalam berbagai situasi. Alkitab benar-benar adalah surat cinta Allah pada umat manusia. Kasih Allah kepada ciptaanNya, khususnya umat manusia, nyata dalam Alkitab. Dalam Alkitab kita menemukan Allah dengan kasih dan murah hati menarik manusia ke dalam hubungan yang khusus dengan diriNya, bukan karena manusia pantas mendapatkannya, namun karena Allah itu penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih dan setiaNya. Namun kita juga melihat Allah yang suci dan benar, Allah yang adalah Hakim bagi semua yang tidak taat kepada FirmanNya dan menolak menyembah Dia dan memilih menyembah allah yang mereka ciptakan sendiri, menyembah berhala dan illah-illah lain dan bukan menyembah Allah yang esa dan sejati (Roma 1).
Karena karakter Allah yang adil dan suci, semua dosa, baik dari masa lalu, sekarang dan masa depan harus dihakimi. Namun demikian Allah dalam kasihNya yang tidak terbatas telah menyediakan pembayaran bagi dosa dan jalan pendamaian supaya orang berdosa dapat bebas dari murkaNya. Kita melihat kebenaran yang indah ini dalam ayat-ayat seperti 1 Yohanes 4:10 "Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita" (1 Yohanes 4:10). Dalam Perjanjian Lama Allah menyediakan sistim korban persembahan di mana dosa dapat ditebus; namun sistim ini hanya sementara dan untuk mengantisipasi kedatangan Yesus Kristus yang akan mati di salib untuk benar-benar menggantikan dan menebus dosa-dosa kita. Juruselamat yang dijanjikan dalam Perjanjian Lama diungkapkan dengan lebih jelas dalam Perjanjian Baru dan puncak pernyataan kasih Allah, yaitu pengutusan Anaknya Yesus Kristus diungkapkan dengan segala kemuliaan. Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru diberikan "menuntun engkau kepada keselamatan" (2 Timotius 3:15) dan ketika kita mempelajarinya dengan teliti, nyata dengan jelas bahwa Allah dalam Perjanjian Baru tidak berbeda dengan Allah dalam Perjanjian Lama.
Pada mulanya bisa saja kelihatan sepertinya jika Allah menciptakan segala sesuatu, berarti kejahatan juga diciptakan oleh Allah. Namun demikian, di sini ada asumsi yang perlu dijernihkan. Kejahatan bukanlah sebuah "benda" " seperti batu atau listrik. Anda tidak dapat memiliki satu kaleng kejahatan! Sebaliknya, kejahatan adalah sesuatu yang terjadi, seperti berlari. Kejahatan tidak berada secara sendirinya, kejahatan adalah tidak adanya hal-hal yang baik. Misalnya, lubang itu riil, tapi hanya ada dalam sesuatu yang lain. Kita bisa katakan tidak adanya tanah sebagai sebuah lubang, tapi lubang tidak bisa dipisahkan dari tanah. Jadi waktu Allah menciptakan, semuanya itu baik. Salah satu hal baik yang diciptakan Tuhan adalah bahwa mahkluk ciptaanNya memiliki kebebasan untuk memilih yang baik. Agar mereka benar-benar memiliki pilihan, Allah harus mengijinkan sesuatu yang berbeda dengan yang baik supaya bisa ada pilihan. Karena itu Allah mengijinkan para malaikat dan manusia untuk memilih yang baik atau yang tidak baik (jahat). Ketika hubungan yang tidak baik terjadi di antara dua hal, kita sebut itu kejahatan, namun tidak berarti itu adalah "sesuatu" yang diciptakan oleh Tuhan.
Mungkin ilustrasi berikut dapat menolong menjelaskan. Misalnya saya bertanya kepada orang, "Apakah dingin itu ada?" " kemungkinan besar mereka akan menjawab ya. Namun sebenarnya ini salah. Dingin itu tidak ada. Yang dinamakan dingin adalah tidak adanya panas. Demikian, tidak ada kegelapan. Kegelapan adalah saat tidak adanya terang. Demikian pula kejahatan adalah tidak adanya kebaikan, atau yang lebih tepat, kejahatan adalah tidak adanya Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kejahatan, namun Dia mengijinkan hilangnya kebaikan.
Perhatikan Ayub dalam Ayub 1-2. Iblis ingin menghancurkan Ayub, dan Tuhan mengijinkan Iblis berbuat apa saja, kecuali membunuh Ayub. Tuhan mengijinkan ini untuk membuktikan kepada Iblis bahwa Ayub adalah orang benar karena dia mencintai Tuhan, bukan karena Tuhan telah memberkati dia dengan berlimpah. Tuhan berdaulat dan mengontrol segala sesuatu yang terjadi. Iblis tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mendapatkan "ijin" dari Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kejahatan, namun Dia mengijinkan kejahatan. Jikalau Tuhan tidak mengijinkan kejahatan, manusia dan malaikat melayani Tuhan sebagai keharusan dan bukan karena pilihan. Tuhan tidak menghendaki "robot" yang melakukan apa saja yang Dia inginkan karena "diprogram" dengan cara demikian. Tuhan membuka kemungkinan untuk kejahatan supaya kita dapat memiliki kehendak bebas dan memilih apakah kita mau melayani Dia atau tidak.
Pada akhirnya, pertanyaan seperti ini tidak ada jawaban yang betul-betul dapat kita mengerti. Kita, sebagai manusia yang terbatas tidak pernah dapat secara penuh memahami Tuhan yang tidak terbatas (Roma 11:33-34). Kadang-kdang kita berpikir kita dapat memahami mengapa Tuhan melakukan sesuatu hanya untuk kemudia mendapatkan bahwa maksud Tuhan sama sekali berbeda dengan apa yang sebelumnya kita pikirkan. Tuhan melihat segala sesuatu dari perspektif kekekalan. Kita melihat segalanya dari perspektif duniawi. Mengapa Tuhan menempatkan manusia di bumi ini walaupun Dia tahu bahwa Adam dan Hawa akan berdosa dan sebagai akibatnya membawa kejahatan, kematian dan penderitaan pada umat manusia? Mengapa Tuhan tidak saja menciptakan kita dan membiarkan kita di Surga di mana kita menjadi sempurna dan bebas dari penderitaan? Jawaban yang paling baik yang dapat saya berikan adalah: Tuhan tidak menghendaki sebuah ras robot yang tidak punya kehendak bebas. Tuhan mengijinkan kemungkinan terjadinya kejahatan supaya kita bisa betul-betul memilih mau menyembah Tuhan atau tidak. Jika tidak pernah menderita dan mengalami yang jahat, dapatkah kita betul-betul mengetahui betapa indahnya surga? Tuhan tidak menciptakan kejahatan, Dia mengijinkannya. Jikalau Tuhan tidak mengijinkan kejahatan, kita akan menyembah Dia secara terpaksa dan bukan karena kita memilih dengan kemauan sendiri.
Bagi orang yang tidak percaya, takut akan Allah adalah takut kepada penghakiman Allah dan kematian kekal, yang merupakan pemisahan untuk selama-lamanya dari Allah (Lukas 12:5; Ibrani 10:31). Bagi orang percaya, takut akan Allah adalah sesuatu yang sama sekali berbeda. Rasa takut dari orang-orang percaya adalah rasa hormat kepada Allah. Ibrani 12:28-29 adalah gambaran yang baik untuk hal ini. "Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut. Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan." Rasa hormat dan takjub inilah artinya takut akan Allah bagi orang-orang Kristen. Inilah faktor yang memotivasi kita untuk berserah pada sang Pencipta alam semesta.
Amsal 1:7 mengatakan, "Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, "." Kecuali kalau kita memahami siapakah Allah itu, dan mengembangkan rasa takut yang penuh hormat kepadaNya, kita tidak akan memiliki kebijaksanaan yang sejati. Ulangan 10:12, 20-21 mencatat, " "Maka sekarang, hai orang Israel, apakah yang dimintakan dari padamu oleh TUHAN, Allahmu, selain dari takut akan TUHAN, Allahmu, hidup menurut segala jalan yang ditunjukkan-Nya, mengasihi Dia, beribadah kepada TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu. " Engkau harus takut akan TUHAN, Allahmu, kepada-Nya haruslah engkau beribadah dan berpaut, dan demi nama-Nya haruslah engkau bersumpah. Dialah pokok puji-pujianmu dan Dialah Allahmu, yang telah melakukan di antaramu perbuatan-perbuatan yang besar dan dahsyat, yang telah kaulihat dengan matamu sendiri." Takut akan Allah adalah dasar dari kita mengikuti jalanNya, melayani Dia, dan, ya, mengasihi Dia.
Banyak yang memiliki kecenderungan untuk memperkecil takut akan Allah bagi orang percaya sebagai sekedar "menghormati" Allah. Walaupun rasa hormat jelas termasuk dalam konsep takut akan Allah, namun takut akan Allah adalah lebih dari itu. Bagi orang percaya, rasa takut akan Allah yang Alkitabiah adalah termasuk memahami betapa besar kebencian Allah terhadap dosa, dan takut akan penghakimanNya terhadap dosa " juga dalam hidup orang percaya. Ibrani 12:5-11 menggambarkan disiplin Allah bagi orang percaya. Sekalipun hal itu diakukan dalam kasih (Ibrani 12:6) hal itu tetaplah menakutkan. Hal yang sama juga berlaku dalam hubungan kita dengan Allah. Kita perlu takut akan disiplin dariNya, dan karena itu berusaha menghidupi kehidupan kita dengan cara yang berkenan kepadaNya.
Orang-orng percaya tidak merasa "ketakutan" kepada Allah. Tidak ada alasan bagi kita untuk merasa ketakutan kepadaNya. Kita memiliki janjiNya bahwa tidak ada sesuatupun yang dapat memisahkan kita dari kasihNya (Roma 8:38-39). Kita memiliki janjiNya bahwa Dia tidak akan pernah meninggalkan kita atau mengabaikan kita (ibrani 13:5). Takut akan Allah berarti memiliki rasa hormat yang sedemikian rupa sehingga berdampak kepada cara hidup kita. Takut akan Allah adalah menghormati Dia, tunduk kepada disiplinNya, dan menyembah Dia dengan takjub.
Dalam pengertian tertentu Allah mengasihi semua orang di seluruh dunia (Yohanes 3:16, 1 Yohanes 2:2; Roma 5:8). Kasih ini bukan kasih yang bersyarat " kasih ini berdasarkan fakta bahwa Allah adalah kasih (1 Yohanes 4:8, 16). Kasih Allah pada semua umat manusia mengakibatkan Allah menunjukkan kemurahanNya dengan tidak segera menghukum mereka karena dosa mereka (Roma 3:23; 6:23). Kalau Allah tidak mengasihi semua orang, kita semua akan ada dalam neraka saat ini juga. Kasih Allah kepada dunia ini dimanifestasikan dengan memberi kesempatan kepada orang untuk bertobat (2 Petrus 3:9). Namun demikian, kasih Allah akan dunia ini tidak membuat Dia mengabaikan dosa. Allah juga adalah Allah yang adil (2 Tesalonika 1:6). Dosa tidak akan dibiarkan untuk selama-lamanya (Roma 3:25-26).
Perbuatan kasih kekal yang paling utama dinyatakan dalam Roma 5:8, "Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa." Siapapun yang mengabaikan kasih Allah, yang menolak Kristus sebagai Juruselamat, yang menolak Juruselamat yang sudah membeli dia (2 Petrus 2:1) " orang itu akan mengalami murka Allah untuk selama-lamanya (Roma 1:18), bukan kasihNya (Roma 6:23). Allah mengasihi semua orang secara tanpa syarat dengan menunjukkan kemurahanNya kepada semua orang. Secara bersyarat Allah mengasihi hanya mereka yang beriman kepada AnakNya untuk keselamatan (Yohanes 3:36). Hanya mereka yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat akan mengalami kasih Allah untuk selama-lamanya.
Apakah Allah mengasihi semua orang? Ya. Apakah Allah mengasihi orang-orang Kristen lebih daripada orang bukan Kristen? Tidak. Apakah Allah mengasihi orang-orang Kristen dengan cara yang berbeda dari orang-orang bukan Kristen? Ya. Allah mengasihi semua orang secara setara dalam pengertian Dia bermurah hati kepada semua orang. Allah hanya mengasihi orang-orang Kristen dalam pengertian bahwa orang-orang Kristen mendapatkan anugrah dan kemurahanNya selama-lamanya " janji kasihNya untuk selama-lamanya di Surga. Adalah kasih Allah pada semua orang yang harusnya menarik kita untuk menerima kasihNya yang kekal.
Dalam meneliti Alkitab ada dua fakta yang menjadi jelas: Pertama, Allah itu Roh, dan tidak memiliki karakteristik atau keterbatasan manusia; kedua, bahwa semua bukti dalam Alkitab sepakat bahwa Allah mengungkapkan diriNya kepada manusia dalam wujud laki-laki. Pertama-pertama, natur sejati Allah haruslah dipahami. Allah adalah pribadi, hal ini jelas karena Allah menyatakan semua karakteristik dari sebuah kepribadian: Allah memiliki pikiran, kehendak, intelek dan perasaan. Allah berkomunikasi, memiliki relasi, dan tindakan-tindakan Allah secara pribadi nyata dalam seluruh Kitab Suci.
Sebagaimana dikatakan oleh Yohanes 4:24, "Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran." Karena Allah adalah makhluk rohani, Allah tidak memiliki karakteristik fisik secara manusia. Namun demikian, kadang-kadang bahasa kiasan dalam Alkitab menggunakan karakteristik manusia kepada Allah untuk memungkinkan manusia memahami Allah. Penggunaan karakteristik manusia untuk menggambarkan Allah disebut "antropomorfisme." Antropomorfisme adalah sekedar wahana Allah (makhluk rohani) untuk mengkomunikasikan kebenaran mengenai natur diriNya kepada manusia, makhluk jasmaniah. Karena manusia adalah makhluk jasmaniah, manusia terbatas dalam perngertiannya akan hal-hal yang melampaui dunia fisik, dan di dalam Kitab Suci antropomorfisme digunakan untuk menolong manusia memahami siapakah Allah itu.
Beberapa kesulitan terjadi saat meneliti fakta bahwa manusia diciptakan dalam gambar Allah. Kejadian 1:26-27 mengatakan, "Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya [sendiri], menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka."
Yang dimaksudkan adalah baik laki-laki maupun perempuan diciptakan dalam gambar Allah, yaitu mereka lebih agung dari semua ciptaan lainnya karena, sama seperti Allah, mereka memiliki pikiran, kehendak, intelek, perasaan dan kemampuan moral. Binatang tidak memiliki kemampuan moral, dan tidak memiliki komponen bukan-materi sebagaimana dimiliki oleh manusia. Kejadian memnberitahukan kita bahwa ketika manusia diciptakan Allah, Allah menciptakan manusia sesuai dengan gambarNya sendiri. Gambar Allah adalah komponen rohani yang hanya dimiliki oleh manusia. Allah menciptakan manusia untuk memiliki hubungan dengan Dia; manusia adalah satu-satunya ciptaan yang didesain untuk tujuan tsb.
Namun demikian, laki-laki dan perempuan hanya diciptakan sesuai dengan gambar Allah " mereka tidak bukan duplikat dari Allah, dan bahwa ada laki-laki dan perempuan tidaklah mengharuskan Allah itu memiliki ciri-ciri laki-laki dan perempuan. Ingat, diciptakan menurut gambar Allah tidak ada sangkut pautnya dengan karakteristik fisik.
Kita tahu bahwa Allah adalah makhluk rohani dan tidak memiliki karakteristik fisik. Namun hal ini tidaklah membatasi bagaimana Allah menyatakan diriNya kepada umat manusia. Kitab Suci mengandung semua wahyu yang diberikan Allah kepada manusia mengenai diriNya sendiri, dan merupakan satu-satunya sumber informasi yang obyektif mengenai Allah. Memperhatikan apa yang diberitahukan oleh Alkitab ada beberapa pengamatan mengenai bagaimana Allah menyatakan diri kepada umat manusia.
Sebagai awal, Alkitab mengandung hampir 170 rujukan pada Allah sebagai "Bapa." Seseorang disebut bapa hanyalah kalau dia adalah seorang laki-laki. Kalau yang ingin dikomunikasikan adalah Allah memilih untuk menyatakan diri kepada manusia dalam wujud perempuan, maka kata yang akan dipakai pastilah "ibu" dan bukan "bapa." Baik dalam Perjanjian Lama dan Baru kata ganti maskulin digunakan berulang-ulang untuk Allah.
Yesus Kristus berkali-kali merujuk pada Allah sebagai Bapa, dan pada kesempatan-kesempatan yang lain menggunakan kata ganti maskulin untuk merujuk pada Allah. Dalam kitab-kitab Injil saja, Kristus menggunakan istilah "Bapa" hampir 160 kali untuk secara langsung merujuk pada Allah. Yang perlu diperhatikan adalah pernyataan Kristus dalam Yohanes 10:30. Di sana Dia mengatakan, "Aku dan Bapa[Ku] adalah satu." Jelaslah bahwa Yesus Kristus datang dalam wujud seorang laki-laki untuk mati di salib untuk membayar dosa dunia, dan sama seperti Allah Bapa, dinyatakan kepada manusia dalam wujud laki-laki. Alkitab mencatat berbagai contoh lainnya di mana Kristus menggunakan kata benda dan kata ganti maskulin untuk merujuk pada Allah.
Surat-surat Perjanjian Baru (dari Kisah Rasul sampai Wahyu) juga mengandung hampir 900 ayat di mana kata "theos" " kata benda maskulin dalam Bahasa Yunani " digunakan sebagai rujukan langsung pada Allah. Dalam Bahasa Inggris kata ini kebanyakan diterjemahkan sebagai "God" (Allah).
Dalam begitu banyaknya rujukan kepada Allah dalam Kitab Suci, jelas kelihatan ada konsistensi di mana Allah disebut dengan menggunakan gelar-gelar, kata benda dan kata ganti maskulin. Walaupun Allah bukanlah manusia, tapi Roh, Dia memilih wujud maskulin untuk mengungkapkan diriNya kepada umat manusia. Sama halnya, Yesus Kristus, yang secara terus menerus diperkenalkan dengan gelar-gelar, kata benda dan kata ganti maskulin, mengambil wujud seorang laki-laki saat Dia berjalan di bumi ini. Para nabi Perjanjian Lama dan para Rasul Perjanjian Baru merujuk pada Allah dan Yesus Kristus dengan nama dan gelar maskulin. Allah memilih untuk mengungkapkan diri dalam wujud semacam ini untuk memudahkan manusia memahami siapakah Allah itu. Menuntut bahwa Allah memilih wujud perempuan untuk menyatakan diri kepada manusia adalah bertentangan dengan pola yang diperlihatkan dalam Kitab Suci. Sekali lagi, kalau saja Allah memilih wujud feminin, akan ada bukti-buktinya dalam Alkitab. Bukti itu sama sekali tidak ada. Sekalipun Allah memberi kelonggaran untuk menolong manusia memahami diriNya, adalah penting untuk tidak berusaha "mengurung" Allah dengan membatasi Dia dengan apa yang tidak pantas untuk natur diriNya.
Ketika Allah melakukan mujizat-mujizat yang ajaib dan dahsyat bagi orang-orang Israel, apakah semua itu mengakibatkan mereka menaati Dia? Tidak, orang-orang Israel tetap saja tidak taat dan memberontak melawan Allah sekalipun mereka telah melihat semua mujizat tsb. Orang yang sama yang melihat Allah membelah Laut Merah kemudian meragukan apakah Allah mampu menaklukkan para penghuni Tanah Perjanjian. Bacalah perumpamaan dalam Lukas 16:19-31. Dalam kisah ini si orang di dalam neraka meminta kepada Abraham supaya dia mengirim Lazarus kembali dari antara orang mati untuk memberi peringatan kepada saudara-saudaranya. Abraham memberitahukan orang itu, "Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati." (Lukas 16:31).
Yesus melakukan tak terhitung banyaknya mujizat, namun mayoritas yang amat besar tetap tidak percaya kepadaNya. Jikalau Allah melakukan mujizat-mujizat pada jaman sekarang sebagaimana yang dilakukannya di masa lalu, hasil yang sama akan pula terjadi. Orang akan terkagum-kagum dan percaya Allah untuk waktu yang singkat. Iman mereka dangkal dan akan menghilang begitu sesuatu yang tidak diharapkan atau yang ditakuti terjadi. Iman yang berdasarkan mujizat bukanlah iman yang dewasa. Allah melakukan mujizat yang terbesar sepanjang sejarah dengan datang ke dalam dunia dalam diri Manusia Yesus Kristus untuk mati di salib untuk dosa-dosa kita (Roma 5:8) supaya kita dapat diselamatkan (Yohanes 3:16). Allah masih melakukan mujizat " hanya saja banyak di antaranya terjadi tanpa mendapatkan perhatian atau sama sekali disangkali. Namun demikian, kita tidak membutuhkan lebih banyak mujizat. Yang kita perlukan adalah percaya pada mujizat keselamatan melalui iman dalam Yesus Kristus.
Konsep penting lain yang perlu dipahami adalah fakta bahwa tujuan dari mujizat adalah untuk meneguhkan identitas dari sang pembuat mujizat. Kisah 2:22 menyatakan, "Hai orang-orang Israel, dengarlah perkataan ini: Yang aku maksudkan, ialah Yesus dari Nazaret, seorang yang telah ditentukan Allah dan yang dinyatakan kepadamu dengan kekuatan-kekuatan dan mujizat-mujizat dan tanda-tanda yang dilakukan oleh Allah dengan perantaraan Dia di tengah-tengah kamu, seperti yang kamu tahu." Hal yang sama dikatakan mengenai para Rasul, "Segala sesuatu yang membuktikan, bahwa aku adalah seorang rasul, telah dilakukan di tengah-tengah kamu dengan segala kesabaran oleh tanda-tanda, mujizat-mujizat dan kuasa-kuasa" (2 Korintus 12:12). Saat ini kita memliki kebenaran mengenai Yesus sebagaimana tercatat dalam Kitab Suci. Kita memiliki tulisan dari para Rasul dalam Kitab Suci. Yesus dan para Rasul, sebagaimana dicatat dalam Kitab Suci, adalah batu penjuru dan dasar iman kita (Efesus 2:20). Dalam pengertian ini mujizat tidak lagi perlu karena berita dari Yesus dan para RasulNya telah dibuktikan dan dicatat secara akurat dalam Kitab Suci. Ya, Allah masih melakukan mujizat. Pada saat yang sama kita tidak perlu mengharapkan mujizat terjadi pada jaman sekarang ini dengan cara yang sama yang terjadi dan dicatat dalam Alkitab.
Seksisme adalah salah satu jender, biasanya laki-laki, mendominasi jender lainnya, biasanya perempuan. Alkitab mengandung banyak referensi pada perempuan yang dalam pemikiran modern kita terkesan diskriminatif terhadap kaum perempuan. Apakah ini berarti Allah, dan karena itu Alkitab, seksis? Kita harus mengingat bahwa Alkitab ketika menggambarkan tindakan tidak berarti Alkitab mendukung tindakan tsb. Alkitab menggambarkan laki-laki memperlakukan perempuan tidak lebih dari sebagai barang kepunyaan, namun ini tidak berarti Alkitab menyetujui tindakan itu. Bahkan dalam contoh-contoh di mana Alkitab memberi perintah yang berhubungan dengan perlakuan terhadap perempuan, hal itu tidak merupakan suatu indikasi dari standar yang dikehendaki Allah. Alkitab lebih berfokus pada memperbaharui jiwa kita daripada masyarakat kita. Allah mengetahui bahwa perubahan hati akan menghasilkan perubahan tingkah laku.
Pada masa Perjanjian Lama seluruh dunia bersifat patriakal. Status sejarah tsb sangatlah jelas " bukan hanya di dalam Kitab Suci, namun juga dalam peraturan sosial yang mengatur kebanyakan masyarakat di dunia. Berdasarkan sistim nilai modern dan pandangan manusia duniawi, hal itu disebut "seksis." Allahlah yang menentukan keteraturan dalam masyarakat, bukan manusia, dan Dialah Sumber dari berlakukan prinsip-prinsip otoritas. Namun demikian, sama seperti semua yang lain, manusia yang berdosa telah mengacaukan keteraturan ini. Hal ini mengakibatkan ketidaksetaraan dalam posisi laki-laki dan perempuan sepanjang jalannya sejarah. Pengabaian dan diskriminasi yang kita dapatkan dalam dunia bukanlah sesuatu yang baru. Hal itu adalah akibat dari kejatuhan manusia dan masuknya dosa " yang adalah pemberontakan melawan Allah. Oleh karena itu kita dapat dengan benar mengatakan bahwa istilah dan praktik "seksisme" adalah akibat dari " produk dari " dosa umat manusia. Pewahyuan Alkitab secara progresif mengarahkan kita pada penyelesaian untuk seksisme, dan juga untuk semua kebiasaan berdosa dari umat manusia.
Untuk mendapatkan dan mempertahankan keseimbangan rohani antara posisi otoritas yang telah ditetapkan Allah, kita perlu melihat kepada Alkitab. Perjanjian Baru adalah penggenapan dari Perjanjian Lama, dan di dalamnya kita mendapatkan prinsip-prinsip yang memberitahukan kita jalur otoritas yang benar dan penyelesaian untuk dosa, penyakit dari seluruh umat manusia, dan hal itu meliputi diskriminasi berdasarkan jender.
Salib Kristus adalah penyeimbang yang agung. Yohanes 3:16 mengatakan, "Barangsiapa" dan ini adalah sebuah pernyataan yang meliputi semuanya dan tidak mengabaikan seorangpun berdasarkan posisinya dalam masyarakat, kemampuannya berpikir atau jender. Kita juga mendapatkan bagian Alkitab dalam surat Galatia yang memberitahukan kita kesempatan yang sama bagi kita untuk keselamatan. "Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. Karena kamu semua, yang dibaptis (diidentifikasikan) dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus." (Galatia 3:26-28). Di salib tidak ada seksisme.
Alkitab bukan seksis. Karena Alkitab dengan tepat menggambarkan akibat dosa. Alkitab mencatat segala jenis dosa: perbudakan dan perhambaan serta kegagalan dari para pahlawan yang agung. Namun Alkitab juga memberi jawaban dan penyelesaian untuk dosa-dosa melawan Allah dan aturan-aturan yang ditetapkanNya. Jawaban itu? Hubungan yang benar dengan Allah. Perjanjian Lama memandang ke depan kepada pengorbanan yang paling agung, dan setiap kali suatu pengorbanan untuk dosa dilakukan, hal itu mengajarkan perlunya pendamaian dengan Allah. Dalam Perjanjian Baru, "Anak Domba yang mengangkut dosa isi dunia" dilahirkan, mati, dikuburkan dan bangkit kembali dan kemudian naik ke tempatNya di surga, dan di sana Dia berdoa syafaat untuk kita. Melalui percaya kepadaNyalah penyelesaian untuk dosa ditemukan dan hal itu termasuk dosa seksisme.
Tuduhan seksisme terhadap Alkitab adalah berdasarkan ketidakpengertian akan Kitab Suci. Ketika laki-laki dan perempuan menempati tempat yang telah Allah tetapkan bagi mereka dan hidup sesuai dengan "Demikianlah Firman TUHAN," maka akan ada keseimbangan yang indah antara jender. Keseimbangan itulah yang dimulai oleh Allah dan akan diselesaikan Allah. Ada banyak perhatian yang tidak pantas yang diberikan kepada berbagai produk dosa dan bukannya pada akar dosa. Hanya ketika ada pendamaian pribadi dengan Allah melalui TUHAN Yesus Kristus maka kita mendapatkan kesetaraan yang sejati. "Kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu." (Yohanes 8:32)
Adalah juga penting untuk memahami bahwa perbedaan peranan yang diberikan Alkitab kepada laki-laki dan perempuan bukanlah seksisme. Alkitab menyatakan dengan jelas bahwa Allah menginginkan para lelaki untuk berperan sebagai pemimpin dalam gereja dan keluarga. Apakah ini membuat perempuan lebih rendah? Sama sekali bukan. Apakah perempuan kurang pintar, kurang mampu dan dipandang lebih rendah dalam pandangan Allah? Sama sekali tidak! Yang dimaksudkan adalah bahwa dalam dunia yang sudah dinodai dosa ini, haruslah ada aturan dan otoritas. Allah telah menetapkan fungsi otoritas demi kebaikan kita. Seksisme adalah penyalahgunaan dari peranan-peranan itu " bukan soal adanya peranan-peranan itu.
Yohanes 9:31 menyatakan, "Kita tahu, bahwa Allah tidak mendengarkan orang-orang berdosa, melainkan orang-orang yang saleh dan yang melakukan kehendak-Nya." Juga dikatakan bahwa "satu-satunya doa yang Allah dengar dari orang berdosa adalah doa untuk diselamatkan." Sebagai akibat dari bagian Kitab Suci ini, sebagian orang percaya bahwa Allah tidak mendengar dan/atau tidak akan pernah menjawab doa-doa dari orang yang tidak percaya. Ayat-ayat Alkitab berikut ini menggambarkan bahwa Allah mendengar dan menjawab doa-doa orang yang tidak percaya. 1 Yohanes 5:14-15 memberitahukan kita bahwa Allah menjawab doa-doa kita berdasarkan apakah yang diminta itu sesuai dengan kehendakNya atau tidak. Prinsip ini, mungkin, dapat diterapkan pada orang-orang tidak percaya. Jika seorang tidak percaya berdoa kepada Allah sesuai dengan kehendakNya, tidak ada yang menghalangi Allah menjawab doa tsb " sesuai dengan kehendakNya.
Dalam menganalisa ayat-ayat ini kebanyakan ada hubungannya dengan doa. Dalam satu atau dua peristiwa kita melihat Allah menjawab jeritan hati (tidak dikatakan apakah seruan itu diarahkan kepada Allah atau bukan). Dalam beberapa kasus kelihatannya doa itu dikombinasikan dengan penyesalan. Namun dalam kasus lainnya, doa tsb. hanyalah merupakan doa minta berkat atau kebutuhan jasmani, dan Allah menjawabnya, baik karena kasihan maupun sebagai jawaban atas permintaan yang tulus atau iman dari orang itu. Berikut ini adalah beberapa bagian Alkitab yang berhubungan dengan doa dari orang yang tidak percaya.
Orang-orang Niniweh; Yunus 3:5-10; agar Niniweh luput dari bencana.
Hagar dan Ismael; Kejadian 21:14-19; bukan sekedar doa, namun suatu jeritan hati demi anaknya yang hampir mati.
Ahab, 1 Raja-Raja 21:17-29; khususnya ayat 27-29; Ahab berpuasa dan meratapi nubuat Elia mengenai keturunannya. Allah menjawab dengan tidak menimpakan malapetaka pada zaman Ahab.
Wanita dari daerah Tirus dan Sidon; Markus 7:24-30; supaya Yesus melepaskan anaknya dari roh jahat.
Kornelius, seorang perwira Roma; Kisah Rasul 10, apa yang didoakan tidak disebut (Kisah 10:30) namun dia ditunjukkan jalan keselamatan.
Allah sudah membuat suatu janji yang berlaku untuk semua orang (baik yang sudah diselamatkan atau yang belum) seperti dalam Yeremia 29:13: "Apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati." Inilah yang terjadi dengan Kornelius dalam Kisah 10:1-6. Namun ada banyak janji yang berdasarkan konteks dari ayat-ayat tsb. hanya berlaku bagi orang-orang Kristen. Karena orang-orang Kristen telah menerima Yesus, kita dinasihati untuk dengan berani datang ke tahta anugrah untuk menerima pertolongan pada saat kita membutuhkannya (Ibrani 4:14-16). Kita diberitahu bahwa ketika kita meminta berdasarkan kehendak Allah, Dia mendengar dan memberi apa yang kita minta (1 Yohanes 5:14-15). Ada begitu banyak janji lainnya bagi orang Kristen yang juga berhubungan dengan doa (Matius 21:22; Yohanes 14:13; 15:7). Jadi, ya, ada contoh-contoh di mana Allah tidak menjawab doa dari orang yang tidak percaya. Pada saat yang sama, dalam anugrah dan kemurahanNya, Allah juga dapat campur tangan dalam kehidupan orang-orang yang belum percaya untuk menjawab doa-doa mereka.
Adalah penting untuk memahami bagaimana kata cemburu digunakan. Penggunaan kata ini untuk melukiskan Allah dalam Keluaran 20:5 adalah berbeda dari penggunaannya untuk menggambarkan dosa kecemburuan (Galatia 5:20). Ketika kita menggunakan kata cemburu, kita menggunakannya dalam pengertian iri terhadap seseorang yang memiliki sesuatu yang tidak kita miliki. Seseorang merasa cemburu atau iri kepada orang lain karena orang itu memiliki mobil atau rumah yang bagus (barang kepunyaan). Atau iri kepada orang lain karena kemampuan atau keterampilan orang itu (misalnya kemampuan atletik). Contoh lain adalah seseorang yang cemburu atau iri pada orang lain karena ketampanan atau kecantikan orang itu.
Ketika kita mengamati ayat ini, kita mendapatkan bahwa Allah bukan cemburu atau iri karena seseorang mempunyai sesuatu yang Allah tidak miliki. Keluaran 20:4-5 mengatakan, "Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, "." Perhatikan bahwa dalam ayat ini Allah berbicara mengenai cemburu karena orang mengambil apa yang menjadi milikNya dan memberi kepada yang lain.
Dalam ayat-ayat ini Allah berbicara mengenai orang-orang membuat patung dan sujud menyembah kepada patung-patung ini dan bukannya menyembah Allah sebagaimana layaknya.
Penyembahan dan pelayanan adalah bagi Tuhan semata. Adalah dosa (sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam perintah ini) untuk beribadah aau melayani apapun selain dari Dia. Karena itu, secara ringkas, adalah merupakan dosa ketika kita mengingini, atau kita iri, atau kita cemburu pada seseorang karena dia memiliki sesuatu yang tidak kita miliki. Ketika Allah mengatakan Dia adalah Allah yang cemburu, di sini kata cemburu digunakan secara berbeda. Apa yang Allah cemburui adalah apa yang memang merupakan milik kepunyaanNya; ibadah dan pelayanan adalah milikNya semata-mata, dan hanya boleh diberikan kepadaNya.
Mungkin contoh praktis berikut ini dapat membantu kita memahami perbedaannya. Jikalau seorang suami melihat pria lain bersikap genit dan main mata dengan istrinya, dia berhak untuk merasa cemburu karena hanya dia yang boleh bersikap genit terhadap istrinya. Cemburu seperti ini bukanlah dosa. Bahkan sebaliknya, ini adalah sesuatu yang pantas. Cemburu untuk apa yang merupakan milik Anda adalah baik dan pantas. Cemburu adalah dosa ketika itu merupakan keinginan untuk apa yang bukan merupakan milik Anda. Ibadah, pujian, hormat dan penyembahan adalah milik Allah semata-mata karena hanya Dia yang layak untuk itu. Karena itu adalah hak Allah untuk cemburu ketika ibadah, pujian, hormat atau penyembahan diberikan kepada berhala-berhala. Inilah kecemburuan yang digambarkan oleh Rasul Paulus dalam 2 Korintus 11:2, "Sebab aku cemburu kepada kamu dengan cemburu ilahi."
Definisi monoteisme " Monoteisme berasal dari kata "mono" (tunggal) dan "teisme" (kerpercayaan pada Allah). Khususnya monoteisme adalah kepercayaan pada satu Allah yang sejati yang adalah satu-satunya Pencipta, Pemelihara, dan juga Hakim dari segala makhluk. Monoteisme berbeda dari henoteisme yang adalah kepercayaan pada bermacam allah dengan satu allah yang lebih utama dari semua allah yang lain. Monoteisme juga bertolak belakang dengan politeisme yang adalah kepercayaan pada adanya banyak allah.
Ada banyak argumen yang mendukung monoteisme, termasuk di dalamnya pewahyuan khusus (Alkitab), pewahyuan alam (filosofi), dan juga antropologi sejarah. Berikut ini semuanya akan diuraikan secara amat singkat walaupun penjelasan ini tidak boleh dianggap sebagai penjelasan yang menyeluruh.
Argumen Biblika untuk monoteisme " Ulangan 4:35, "Engkau diberi melihatnya untuk mengetahui, bahwa Tuhanlah Allah, tidak ada yang lain kecuali Dia." Ulangan 6:4, " Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!" Maleakhi 2:10a, "Bukankah kita sekalian mempunyai satu bapa? Bukankah satu Allah menciptakan kita?" 1 Korintus 8:6, " namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup." Efesus 4:6, "satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua." 1 Timotius 2:5, "Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus." Yakobus 2:19, "Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar."
Jelas bahwa bagi banyak orang tidaklah cukup untuk mengatakan bahwa hanya ada satu Allah karena Alkitab mengatakan demikian. Ini adalah karena tanpa Allah tidak ada cara untuk membuktikan bahwa Alkitab benar-benar adalah FirmanNya! Namun demikian, orang bisa saja mengatakan bahwa karena Alkitab memiliki bukti supranatural yang paling dapat diandalkan yang menguatkan apa yang diajarkan, ini dapat menjadi dasar yang meneguhkan monoteisme. Argumen yang serupa adalah kepercayaan dan pengajaran Yesus Kristus yang membuktikan bahwa Dia adalah Alah (atau paling sedikit Dia diperkenankan Allah) melalui kelahiranNya yang merupakan mujizat, kehidupanNya, dan mujizat kebangkitanNya. Allah tidak dapat berdusta atau ditipu; karena itu apa yang dpercayai dan diajarkan Yesus adalah benar adanya. Karena itu, monoteisme, sebagaimana yang dipercayai dan diajarkan Yesus, adalah benar adanya. Argumen ini mungkin tidak akan berkesan dalam bagi mereka yang tidak mengenal bukti supranatural Alkitab dan Kristus, namun ini merupakan suatu permulaan yang baik bagi mereka yang memahaminya.
Argumen historis untuk monoteisme " Argumen yang berdasarkan popularitas sangat perlu dicurigai, namun adalah menarik melihat betapa monoteisme mempengaruhi agama-agama dunia. Teori yang terkenal mengenai perkembangan agama secara evolusi berasal dari pandangan mengenai realita secara umum, dan anggapan mengenai antropologi evolutionis yang memandang kebudayaan-kebudayaan "primitif" sebagai wakil dari tahapan awal perkembangan agama. Namun ada beberapa masalah dengan teori evolusi semacam ini: (1) Perkembangan yang dilukiskan tidak pernah diamati " bahkan kenyataannya kelihatannya tidak ada peningkatan ke arah monoteisme dari kebudayaan manapun " yang terjadi malah kebalikannya. (2) Metode antropologi mendefinisikan "primitif" dengan menyamakannya dengan perkembangan tehnologi, namun ini bukanlah kriteria yang memuaskan karena dalam suatu budaya terdapat begitu banyak komponen.
(3) Tahapan-tahapan yang dimaksud sering hilang atau dilangkahi. (4) Akhrnya, kebanyakan budaya politeistik memperlihatkan sisa-sisa monoteisme dari tahap awal perkembangan mereka. Apa yang kita temukan adalah Allah yang monoteistik ini merupakan suatu pribadi, maskulin, tinggal di langit, memiliki pengetahuan dan kuasa yang luar biasa, menciptakan dunia, sumber dari moralitas yang harus kita taati, namun kita langgar dan sebagai akibatnya kita terbuang, namun jalan pendamaian sudah disediakan. Bisa dikata semua agama mengandung variasi dari Allah semacam ini pada dulunya sebelum kemudian "merosot" pada kacaunya politeisme, animisme dan sihir " bukan sebaliknya (Islam adalah kasus yang amat jarang, di mana Islam berbalik 360 derajat kembali kepada kepercayaan monoteistik). Namun sekalipun dengan pergerakan seperti ini, politeisme sering kali merupakan monoteistik atau henoteistik fungsional. Jarang ada agama politeistik yang tidak memiliki salah satu dari dewa dewi sebagai allah yang berkuasa di atas allah-allah lainnya, di mana allah-allah lainnya ini bertindak hanya sebagai pengantara.
Argumen filosofis/teologis untuk Monoteisme " Ada banyak argumen filosofis mengenai ketidakmungkinan untuk adanya lebih dari satu Allah. Banyak dari argumen ini bergantung pada posisi metafisik seseorang dalam soal natur dari realita. Dalam artikel yang begitu pendek ini adalah tidak mungkin untuk menjabarkan semua pandangan dasar metafisik ini dan kemudian memperlihatkan pandangan mereka mengenai monoteisme, tapi percayalah bahwa ada dasar-dasar filosofis dan teologis dari kebenaran-kebenaran ini yang sudah beribu tahun lamanya (dan kebanyakan tidak perlu dijelaskan lagi). Secara singkat, berikut ini adalah tiga argumen yang seseorang dapat pilih untuk diteliti (mulai dari yang kurang sulit):
1. Kalau ada lebih dari satu Allah, maka alam semesta akan kacau karena ada bermacam pencipta dan penguasa, tapi kenyataannya alam semesta tidak kacau; karena itu hanya ada satu Allah.
2. Karena Allah adalah makhluk yang sempurna, maka tidak mungkin ada Allah yang kedua karena keduanya pasti akan ada perbedaan, dan untuk berbeda dari yang sempurna berarti kurang sempurna dan bukan Allah.
3. Karena Allah ada secara tidak terbatas, maka Allah tidak bisa terbagi-bagi (karena bagian tidak dapat dijumlahkan untuk menjadi tidak terbatas). Kalau keberadaan Allah bukan hanya merupakan bagian dari diriNya (sebagaimana lazimnya bagi segala sesuatu baik yang ada maupun tidak ada), maka Allah haruslah memiliki memiliki keberadaan yang tidak terbatas. Oleh karena itu tidak mungkin ada dua makhluk yang tidak terbatas karena yang satu haruslah berbeda dari yang lainnya, dan berbeda dari keberadaan yang tidak terbatas berarti tidak ada sama sekali.
Orang mungkin bisa berargumen bahwa banyak argumen ini tidak menyingkirkan "allah-allah" tingkat yang lebih rendah, dan itu bisa saja diterima. Walaupun kita tahu bahwa ini tidaklah benar secara Alkitabiah, secara teori sama sekali tidak ada salahnya. Dengan kata lain, Allah bisa saja mencipta "allah-allah" tingkat lebih rendah, namun kenyataannya Dia tidak melakukan hal itu. Kalau Dia melakukannya, bukan saja "allah-allah" ini merupakan makhluk ciptaan yang terbatas, mungkin sangat mirip dengan para malaikat (bdk. Mazmur 82). Hal ini tidak akan merusak monoteisme yang tidak pernah mengatakan bahwa tidak ada makhluk rohani lainnya " hanya saja tidak ada Allah lainnya.
Yang menjadi soal bukanlah apakah pantas bagi kita untuk mempertanyakan Allah, tapi dengan sikap apa " dan dengan alasan apa " kita mempertanyakan Dia. Pada dirinya sendiri bertanya kepada Allah tidaklah salah. Nabi Habakuk bertanya kepada Allah mengenai waktu dan cara pelaksanaan rencana Allah. Bukannya ditegur, Habakuk justru dijawab dengan sabar, dan sang nabi mengakhiri kitabnya dengan nyanyian pujian kepada Tuhan. Banyak pertanyaan diajukan kepada Allah dalam kitab Mazmur (Mazmur 10, 44, 74, 77). Semua ini adalah jeritan dari mereka yang teraniaya, yang sangat mengharapkan campur tangan dan keselamatan dari Allah. Sekalipun Allah tidak selalu menjawab pertanyaan kita dengan cara yang kita ingini, dari bagian-bagian Alkitab ini kita menyimpulkan bahwa pertanyaan yang tulus dari hati yang sungguh-sungguh diterima baik oleh Allah.
Pertanyaan-pertanyaan yang tidak tulus, atau pertanyaan-pertanyaan dari hati yang munafik adalah merupakan soal yang berbeda. "Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia." (Ibrani 11:6) Setelah Raja Saul tidak menaati Allah, pertanyaan-pertanyaannya tidak dijawab (1 Samuel 28:6). Adalah berbeda sekedar ingin tahu mengapa Allah mengizinkan peristiwa-peristiwa tertentu dan secara langsung mempertanyakan kebaikan Allah. Meragukan adalah berbeda dari menanyakan kedaulatan Allah dan menyerang karakter Allah. Dengan kata lain, pertanyaan yang jujur bukanlah dosa, tapi hati yang pahit, tidak percaya atau memberontak, itu adalah dosa. Allah tidak takut dengan pertanyaan-pertanyaan. Allah mengundang kita untuk menikmati persekutuan yang dekat dengan Dia. Ketika kita "bertanya kepada Allah" itu harus dari hati yang rendah dan pikiran yang terbuka. Kita dapat bertanya kepada Allah, tapi jangan berharap untuk mendapat jawaban kecuali kalau kita betul-betul tertarik pada jawabanNya. Allah mengetahui hati kita, dan mengetahui apakah kita dengan sungguh-sungguh mencari Dia untuk menerangi kita. Sikap hati kita adalah yang menentukan apakah benar atau salah untuk bertanya kepada Allah.
Alkitab mengatakan bahwa tidak seorangpun pernah melihat Allah (Yohanes 1:18) kecuali Tuhan Yesus Kristus. Dalam Keluaran 33:20, Allah menyatakan, "Engkau tidak tahan memandang wajah-Ku, sebab tidak ada orang yang memandang Aku dapat hidup." (Keluaran 33:20) Ayat-ayat Alkitab ini sepertinya bertentangan dengan bagian Alkitab lainnya di mana bermacam-macam orang "melihat" Allah. Misalnya, Keluaran 33:19-23 menggambarkan Musa berbicara kepada Allah "muka dengan muka." Bagaimana mungkin Musa berbicara dengan Allah "muka dengan muka" kalau tidak seorangpun dapat melihat wajah Allah dan tetap hidup? Dalam contoh ini, kalimat "muka dengan muka" adalah kalimat figuratif yang mengindikasikan bahwa mereka berada dalam persekutuan yang amat dekat. Allah dan Musa berbicara satu kepada yang lain "sepertinya" mereka itu dua orang manusia yang bercakap-cakap secara akrab.
Dalam Kejadian 32:30 Yakub melihat Allah menampakkan diri sebagai seorang malaikat " Dia tidak betul-betul melihat Allah. Orangtua Simson ketakutan ketika mereka menyadari bahwa mereka telah melihat Allah (Hakim-Hakim 13:22), namun mereka hanya melihat Dia dalam penampakannya sebagai seorang malaikat. Yesus adalah Allah dalam wujud manusia (Yohanes 1:1, 14) sehingga ketika orang-orang melihat Dia, mereka melihat Allah. Jadi, ya, Allah dapat "dilihat" dan banyak orang telah "melihat" Allah. Pada saat yang sama, tidak seorangpun pernah melihat Allah dalam segala kemuliaanNya. Dalam kondisi kita sebagai manusia yang jatuh, jika Allah benar-benar menyatakan diri kepada kita secara penuh, kita akan habis binasa. Karena itu Allah menutup diriNya dan menampakkan diri dalam rupa yang dapat kita "lihat." Namun demikian, ini tidak sama dengan melihat Allah dalam segala kemuliaan dan kekudusanNya. Orang-orang mendapat penglihatan tentang Allah, gambar Allah, dan penampakan diri Allah " namun tidak seorangpun pernah melihat Allah dalam kesempurnaanNya (Kejadian 33:20).
Maleakhi 3:6 menyatakan, "Bahwasanya Aku, TUHAN, tidak berubah, dan kamu, bani Yakub, tidak akan lenyap." Demikian pula Yakobus 1:17 memberitahukan kita, "Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran." Makna dari Bilangan 23:19 amatlah jelas, "Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta, bukan anak manusia, sehingga Ia menyesal. Masakan Ia berfirman dan tidak melakukannya, atau berbicara dan tidak menepatinya?" Tidak, Allah tidak mengubah pikiranNya. Ayat-ayat ini menegaskan bahwa Allah tidak berubah dan tidak dapat diubah.
Namun ini nampaknya bertolakbelakang dengan apa yang diajarkan dalam ayat-ayat lain, seperti misalnya Kejadian 6:6, "maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya." Demikian pula Yunus 3:10 yang mengatakan, "Ketika Allah melihat perbuatan mereka itu, yakni bagaimana mereka berbalik dari tingkah lakunya yang jahat, maka menyesallah Allah karena malapetaka yang telah dirancangkan-Nya terhadap mereka, dan Iapun tidak jadi melakukannya." Keluaran 32:14 juga mengatakan, "Dan menyesallah TUHAN karena malapetaka yang dirancangkan-Nya atas umat-Nya." Ayat-ayat ini bebicara mengenai Tuhan "menyesali" sesuatu, dan kelihatan bertolakbelakang dengan ayat-ayat yang mengatakan bahwa Allah tidak berubah. Namun demikian, analisa lebih dalam dari ayat-ayat ini mengungkapkan bahwa ini bukanlah indikasi yang sebenarnya bahwa Allah dapat berubah. Dalam bahasa aslinya, kata yang diterjemahkan "menyesal" adalah ungkapan dalam bahasa Ibrani yang berarti "berbelas kasihan." Merasa kasihan untuk sesuatu hal bukan berarti ada perubahan yang terjadi, hal itu hanya menyatakan kesedihan untuk sesuatu yang telah terjadi.
Pertimbangkan Kejadian 6:6 bahwa, "menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi." Ayat ini selanjutnya mengatakan, ""dan hal itu memilukan hati-Nya." Ayat ini mengatakan bahwa Allah menyesal telah menciptakan manusia. Namun jelas bahwa Dia tidak mengubah keputusanNya. Sebaliknya, melalui Nuh Dia mengijinkan manusia tetap ada. Kenyataan bahwa kita masih hidup sekarang ini adalah bukti nyata bahwa Allah tidak mengubah pikiranNya soal menciptakan manusia. Juga konteks dari ayat ini adalah gambaran mengenai keadaan manusia yang hidup dalam dosa, dan dosa manusialah yang memicu kesedihan Allah, bukan keberadaan manusia. Pertimbangkan apa yang dikatakan oleh Yunus 3:10, ""maka menyesallah Allah karena malapetaka yang telah dirancangkan-Nya terhadap mereka, dan Iapun tidak jadi melakukannya." Kata menyesal di sini adalah kata yang sama dalam Bahasa Ibrani yang berarti "berbelas kasihan." Mengapa Allah berbelas kasihan kepada orang-orang Niniwe? Karena mereka bertobat, dan sebagai hasilnya, mereka berubah dari tidak taat kepada ketaatan. Allah sama sekali konsisten. Allah akan menghukum Niniwe karena kejahatan mereka. Namun Niniwe menyesal dan mengubah cara hidup mereka. Sebagai hasilnya Allah berbelas kasihan kepada Niniwe, semua ini tetap konsisten dengan karakterNya.
Roma 3:23 mengajar kita bahwa semua orang sudah berdosa dan tidak mencapai standar Allah. Roma 6:23 mengatakan bahwa konsekwensi dari semua ini adalah kematian (rohani dan jasmaniah). Jadi penduduk Niniwe pantas untuk dihukum. Setiap kita juga menghadapi situasi yang sama karena pilihan manusia untuk berdosalah yang memisahkan kita semua dari Allah. Manusia tidak dapat meminta Allah bertanggung jawab untuk kesulitannya. Karena itu adalah berlawanan dengan karakter Allah kalau Dia tidak menghukum penduduk Niniwe saat mereka terus berdosa. Namun orang-orang Niniwe berbalik menjadi taat, dan karena itu Allah memilih untuk tidak menghukum mereka sebagaimana yang semula direncanakan. Apakah perubahan dari orang-orang Niniwe mewajibkan Allah tetap melakukan apa yang direncanakan? Sama sekali tidak! Allah tidak punya kewajiban kepada manusia. Allah baik dan adil, dan Dia memilih untuk tidak menghukum orang-orang Niniwe karena pertobatan mereka. Paling sedikit ayat ini sebetulnya justru menunjukkan bahwa Allah tidak berubah karena kalau Allah tidak menyelamatkan orang-orang Niniwe, hal itu justru bertentangan dengan karakter Allah.
Ayat-ayat Alkitab yang menggambarkan Allah sepertinya "mengubah pikiranNya" adalah upaya manusia untuk menjelaskan tindakan Allah. Allah mau melakukan sesuatu, namun sebaliknya Dia justru melakukan yang lain. Bagi kita, hal ini sepertinya berubah. Namun bagi Allah yang Mahakuasa dan berdaulat, itu bukanlah perubahan. Allah selalu tahu apa yang Dia mau lakukan. Allah juga tahu apa yang Dia harus lakukan untuk membuat manusia melakukan apa yang Dia ingin mereka lakukan. Allah mengancam untuk menghancurkan Niniwe, Dia tahu bahwa hal itu akan mengakibatkan Niniwe bertobat. Allah mengancam untuk menghancurkan Israel, dan Dia tahu bahwa Musa akan berdoa syafaat bagi mereka. Allah tidak menyesali keputusanNya, namun sedih karena respon dari sebagian orang terhadap keputusan-keputusanNya. Allah tidak mengubah pikiranNya, namun bertindak konsisten sesuai dengan FirmanNya sebagai respon terhadap tindakan kita.
Mengapa Allah mengijinkan gempa, angin tornado, topan, tsunami, taifun, longsor, dan bencana alam-bencana alam lainnya? Tragedi tsunami yang menimpa Asia pada akhir tahun 2004, topan Katrina pada tahun 2005 di bagian Tenggara Amerika Serikat, dan pada tahun 2006 longsor di Filipina membuat banyak orang mempertanyakan kebaikan Allah. Memang menyusahkan ketika bencana alam disebut sebagai "tindakan Allah/acts of God" padahal Allah tidak "dipuji" pada saat untuk bertahun-tahun, atau berabad-abad cuaca bagus. Allah menciptakan seluruh alam semesta dan hukum-hukum alam (Kejadian 1:1). Kebanyakan bencana alam adalah akibat dari hukum-hukum alam ini. Topan, taifun and tornado adalah akibat dari bertumbuknya pola cuaca yang berbeda. Gempa bumi adalah akibat dari bergesernya lempengan bumi. Tsunami diakibatkan oleh gempa bumi di bawah permukaan laut.
Alkitab menyatakan bahwa Yesus Kristus menyatukan seluruh alam semesta (Kolose 1:16-17). Dapatkah Allah mencegah bencana alam? Sudah tentu! Apakah kadang-kadang Allah mempengaruhi cuaca? Ya, lihat Ulangan 11:17 dan Yakobus 5:17. Apakah kadang-kadang Allah menggunakan bencana alam sebagai hukuman atas dosa? Ya, lihat Bilangan 16:30-34. Kitab Wahyu menggambarkan banyak peristiwa yang jelas-jelas dapat digambarkan sebagai bencana alam (Wahyu 6, 8 dan 16). Apakah setiap bencana alam merupakan hukuman Allah. Sama sekali tidak!
Sama halnya dengan Allah mengijinkan orang jahat melakukan kejahatan, Allah mengijinkan bumi memperlihatkan konsekwensi dari dosa terhadap ciptaan. Roma 8:19-21 memberitahukan kita, "Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan. Karena seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia, yang telah menaklukkannya, tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah." Kejatuhan umat manusia dalam dosa berdampak pada segala sesuatu, termasuk alam semesta yang kita huni. Segala yang ada dalam ciptaan ini takluk kepada "kesia-siaan" dan "kebinasaaan." Dosa adalah penyebab utama dari bencana alam-bencana alam sama seperti dosa mengakibatkan kematian, penyakit dan penderitaan.
Jadi kita kembali ke awal. Kita dapat memahami bagaimana bencana alam terjadi. Yang tidak dapat kita pahami adalah mengapa Allah mengijinkan itu terjadi. Mengapa Allah mengijinkan tsunami membinasakan lebih dari 225.000 orang di Asia? Mengapa Allah mengijinkan topan Katrina menghancurkan rumah dari ratusan ribu orang? Apa yang kita tahu adalah " Allah itu baik! Ada banyak mujizat yang ajaib dalam berbagai bencana alam yang mencegah hilangnya lebih banyak nyawa. Bencana alam mengakibatkan jutaan orang mengevaluasi kembali prioritas hidup mereka, Ratusan juta dikirimkan untuk membantu orang-orang yang menderita. Pelayanan-pelayanan Kristen memiliki kesempatan untuk membantu, melayani, memberikan konsultasi, berdoa " dan memimpin oran kepada iman keselamatan di dalam Kristus! Allah mampu dan Allah menghasilkan hasil yang baik dari tragedi-tragedi yang menyedihkan (Roma 8:28).