Menjadi orangtua bisa menjadi peristiwa yang sulit dan menakutkan, tetapi adalah salah satu hal yang paling berpahala dan berbobot memuaskan yang dapat kita lakukan. Tuhan banyak berbicara mengenai cara kita mendidik anak untuk menjadi pribadi yang saleh. Hal pertama yang perlu kita lakukan adalah mengajar mereka kebenaran Firman Tuhan.
Sejalan dengan mengasihi Tuhan dan menjadi contoh yang saleh dengan mengkomitmenkan diri kita sendiri pada perintah-Nya, kita perlu untuk "Mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau sedang duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah engkau juga mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu dan pada pintu gerbangmu" (Ulangan 6:7-9). Dengan secara kiasan simbolik mengikuti perintah-perintah yang Tuhan berikan kepada orang Ibrani, kita mengajarkan anak-anak kita bahwa menyembah Tuhan harus konstan, bukan hanya hari minggu pagi atau doa malam.
Walaupun anak-anak kita belajar banyak hal melalui pengajaran langsung, mereka belajar jauh lebih banyak dari melihat kita. Inilah mengapa sebabnya mengapa kita harus berhati-hati dalam segala hal yang kita lakukan. Kita pertama-tama harus mengakui peranan yang diberikan Tuhan kita. Suami-suami dan istri-istri haruslah saling menghormati dan saling menundukkan diri (Efesus 5:21). Pada waktu yang sama, Tuhan telah menetapkan suatu garis otoritas untuk menjaga agar semuanya tetap teratur.
1 Korintus 11:3 berkata, "Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah." Kita tahu bahwa Kristus tidak di bawah Allah, sama seperti wanita tidak di bawah suaminya. Tuhan mengerti bahwa tanpa penundukan diri pada otoritas, tidak ada keteraturan. Tanggung jawab suami sebagai kepala dari rumah tangga ialah mengasihi istrinya seperti tubuhnya sendiri, dalam cara pengorbanan yang sama Kristus mengasihi Gereja (Efesus 5:25-29).
Dalam respon pada kepemimpinan kasih, adalah tidak sulit bagi istri untuk menundukkan diri pada otoritas suaminya (Efesus 5:24, Kolose 3:18). Tanggung jawab utama istri adalah mengasihi suami dan anak-anaknya, hidup dengan bijaksana dan kudus, dan mengurus rumah (Titus 2:4-5). Wanita secara alami lebih bersifat memelihara daripada pria karena mereka memang didesain untuk menjadi pengasuh utama dari bayi anak-anak mereka.
Disiplin dan instruksi adalah bagian integral dari menjadi oang tua orangtua. Amsal 13:24 berkata, "Siapa yang menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa yang mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya." Anak-anak yang tumbuh tanpa disiplin dalam rumah merasa tidak diinginkan dan tidak berharga. Mereka kurang arah dan kontrol diri, dan seiring dengan bertumbuhnya mereka akan memberontak dan memiliki sedikit dan atau sama sekali tidak memiliki hormat pada otoritas, termasuk otoritas Tuhan. "Hajarlah anakmu selama ada harapan, tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya" (Amsal 19:18).
Pada waktu yang sama, disiplin harus diseimbangkan dengan kasih, atau anak dapat tumbuh dalam kebencian, penakut, dan pemberontak (Kolose 3:21). Tuhan mengetahui bahwa disiplin itu menyakitkan ketika terjadi (Ibrani 12:11), tapi jika diikuti dengan instruksi yang mengasihi, itu menjadi luar biasa berharga untuk anak. "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan" (Efesus 6:4).
Adalah penting untuk melibatkan anak-anak dalam pelayanan dan keluarga Gereja ketika mereka masih muda. Datang ke Gereja yang percaya Alkitab (Ibrani 10:25), biarkan mereka untuk melihat Anda belajar Firman Tuhan, dan juga belajar Firman bersama dengan mereka. Diskusikan dengan mereka dunia di sekitar sewaktu Diskusikan dunia sekitar mereka sebagaimana mereka melihatnya, dan ajarkan mereka mengenai kemuliaan Tuhan melalui kehidupan sehari-hari mereka. "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari jalan itu" (Amsal 22:6).
Beberapa dekade yang lalu, memukul anak di pantat adalah praktek yang diterima secara luas. Namun demikian, dalam tahun-tahun terakhir ini memukul anak (dan bentuk-bentuk hukuman badan lainnya) telah diganti dengan "time-outs" (berhenti dari aktifitas-aktifitas yang mereka sukai) dan bentuk-bentuk hukuman lainnya yang tidak bersifat hukuman fisik. Di beberapa negara, memukul anak bahkan dianggap ilegal. Banyak orangtua yang takut memukul anaknya dan dilaporkan pada pemerintah dan akibatnya anak tsb akan diambil dari mereka. Jangan salah paham, kami bukan mau mendukung penyiksaan anak atau perlakuan kasar terhadap anak. Seorang anak tidak boleh didisiplin secara fisik sampai mengakibatkan kerusakan/gangguan fisik pada anak tsb. Namun demikian, menurut Alkitab, mendisiplin anak secara fisik pada batas-batas tertentu adalah baik dan mendukung pertumbuhan serta kebaikan sang anak.
Banyak ayat Alkitab yang mendorong disiplin secara fisik. "Jangan menolak didikan dari anakmu ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati." Masih ada ayat-ayat lain yang mendukung penghukuman secara fisik (Amsal 13:24; 22:15; 20:30). Alkitab sangat menekankan pentingnya disiplin; itu adalah sesuatu yang harus kita miliki supaya menjadi orang-orang yang produktif dan hal ini lebih mudah dipelajari ketika kita masih muda. Anak-anak yang tidak didisiplin akan bertumbuh sebagai pemberontak, tidak menghormati otoritas dan akibatnya mereka tidak akan mau menaati dan mengikuti Tuhan. Tuhan menggunakan disiplin untuk mengoreksi kita dan memimpin kita pada jalan yang benar, dan untuk mendorong kita menyesali perbuatan-perbuatan kita (Mazmur 94:12; Amsal 1:7, 6:23, 12:1, 13:1, 15:5; Yesaya 38:16; Ibrani 12:9). Ini hanyalah beberapa ayat yang berbicara mengenai faedah dari disiplin.
Di sinilah masalahnya, sering kali para orangtua terlalu pasif atau terlalu agresif dalam usaha mereka membesarkan anak-anak mereka. Mereka yang tidak percaya soal memukul anak sering kali tidak punya kemampuan untuk mengoreksi dan mendisiplin secara tepat, sehingga anak mereka bertumbuh secara liar dan suka melawan. Hal ini merusak anak dalam jangka panjang. "Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan mempermalukan ibunya" (Amsal 29:15). Ada pula orangtua yang salah mengerti definisi Alkitab mengenai disiplin (atau mungkin mereka memang orang yang kasar dan suka menyiksa) dan menggunakan disiplin untuk membenarkan kekasaran dan penyiksaan terhadap anak-anak mereka.
Disiplin digunakan untuk mengoreksi dan mendidik orang untuk berjalan pada jalan yang benar. "Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya" (Ibrani 12:11). Disiplin dari Tuhan adalah penuh kasih, sebagaimana mestinya antara orangtua dan anak. Memukul anak tidak boleh menyebabkan gangguan yang permanen atau untuk menyakiti, tapi memukul secara cepat (di bagian belakang/pantat di mana paling banyak daging) untuk mengajar anak bahwa apa yang dilakukannya tidak dapat diterima. Hal ini tidak boleh dilakukan untuk melampiaskan amarah atau rasa frustrasi kita, atau secara tidak terkontrol.
"Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan" (Efesus 6:4). Mendidik anak "dalam ajaran dan nasihat Tuhan" termasuk menghukum, mengoreksi, dan ya, disiplin secara fisik dalam kasih.
Perintah terbesar dalam Alkitab adalah "Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu" (Ulangan 6:5). Sebelumnya dalam ayat 2 kita membaca, "supaya seumur hidupmu engkau dan anak cucumu takut akan TUHAN, Allahmu, dan berpegang pada segala ketetapan dan perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu, dan supaya lanjut umurmu" (Ulangan 6:2). Ayat-ayat sesudahnya mengatakan, "Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun" (Ulangan 6:6-7).
Sejarah bangsa Ibrani memperlihatkan bahwa ayah harus rajin mengajar anak-anaknya menuruti jalan dan firman Tuhan demi untuk pertumbuhan rohani dan kesejahteraan mereka. Ayah yang taat kepada perintah-perintah dalam Firman Tuhan akan melakukan hal ini. Kepentingan utama dari ayat ini adalah anak-anak didewasakan dalam "ajaran dan nasehat Tuhan" yang adalah merupakan tanggung jawab seorang ayah dalam rumah tangga. Hal ini membawa kita kepada ayat dalam kitab Amsal 22:6-11, khususnya ayat 6 yang berbunyi "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." Mendidik mengindikasikan pendidikan mula-mula yang diberikan ayah dan ibu pada seorang anak, yaitu pendidikan awal. Pendidikan ini dimaksudkan untuk memperkenalkan anak pada pola hidup yang direncanakan baginya. Memulai pendidikan anak dengan cara sedemikian adalah hal yang amat penting, sama seperti pohon bertumbuh mengikuti arah batangnya waktu baru ditanam.
Ayat dari Perjanjian Baru memberi kita gambaran yang jelas akan perintah Tuhan kepada ayah dalam hubungannya dengan membesarkan anak-anaknya. Efesus 6:4 adalah ringkasan dari kata-kata nasehat kepada para orangtua, yang di sini diwakili oleh ayah, dan dinyatakan secara negatif dan positif. "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." Di sini ditemukan apa yang dikatakan oleh Alkitab mengenai tanggung jawab ayah dalam membesarkan anak-anak mereka. Aspek negatif dari ayat ini mengindikasikan bahwa seorang ayah tidak boleh mendorong perkembangan emosi-emosi tidak baik dari anak-anak mereka melalui pernyataan kekuasaan secara berlebihan, tidak adil, memihak atau tanpa alasan. Sikap yang tidak sehat terhadap anak akan mengakibatkan kepahitan hati. Aspek positif dinyatakan dalam arah yang menyeluruh, yaitu mendidik mereka, membesarkan mereka, mengembangkan tingkah laku mereka melalui pengajaran dan nasehat dari Tuhan. Ini adalah pendidikan (ayah selaku suri teladan) anak " proses pendidikan dan disiplin yang menyeluruh. Kata "nasehat" mempunyai pengertian "menempatkan dalam pikiran anak" yaitu tindakan mengingatkan anak akan kesalahan-kesalahan (secara konstruktif) atau kewajiban-kewajiban (tanggung jawab sesuai dengan tingkat umur dan pengertian)
Anak tidak boleh dibiarkan bertumbuh dewasa tanpa peduli atau kontrol. Mereka perlu diajar, didisiplin dan dinasehati sehingga mereka mendapat pengertian, penguasaan diri dan ketaatan. Seluruh proses pendidikan ini adalah dalam hal rohani dan Kristiani (dalam pengertian sebenarnya dari kata itu). Inilah "ajaran dan nasehat Tuhan" yang ditetapkan dan merupakan satu-satunya cara yang efektif untuk mencapai tujuan akhir dari pendidikan. Menggantikan cara ini dengan cara apapun sangat mungkin akan mengakibatkan kegagalan fatal. Elemen moral dan rohani dari natur kita adalah sama pentingnya dan sama umumnya dengan elemen intelektual. Karena itu kerohanian sama pentingnya dengan pengetahuan dalam perkembangan pikiran. Kembali Amsal memberitahu kita, "Takut akan Tuhan adalah permulaan dari pengetahuan dan hikmat."
Ayah Kristen adalah merupakan alat dalam tangan Tuhan dalam sisi keayahan ini. Karena keKristenan adalah satu-satunya agama yang benar, dan Allah di dalam Kristus adalah satu-satunya Allah yang sejati, satu-satunya cara pendidikan yang mendatangkan hasil adalah ajaran dan nasehat Tuhan. Seluruh proses pengajaran dan disiplin harus berdasarkan apa yang diperintahkan Tuhan, dan yang dilakukan Tuhan, sehingga otoritasNya dapat senantiasa dan langsung bersentuhan dengan pikiran, hati, hati nurani sang anak. Ayah manusiawi tidak boleh menempatkan dirinya sebagai otoritas tertinggi dalam hal kebenaran dan kewajiban. Hal ini hanya akan mengembangkan aspek "diri sendiri." Hanya dengan menjadikan Allah, Allah di dalam Kristus, sebagai Guru dan Penguasa, yang karena otoritasNya segala sesuatu dapat dipercaya dan karena ketaatan kepada kehendakNya segala sesuatu akan terjadi, maka sasaran dari pendidikan dapat tercapai.
Ajaran-ajaran Alkitab kepada para ayah selalu merupakan standar yang ideal dari Tuhan. Kita memiliki kecenderungan untuk menurunkan standar itu pada tingkat dan pengalaman kita. Namun yang Anda tanyakan adalah apa kata Alkitab mengenai menjadi ayah. Saya berusaha untuk menjawabnya. Saya mendapatkan, melalui pengalaman menjadi ayah dari tiga anak laki-laki, betapa banyaknya kegagalan saya dalam mencapai standar Alkitab. Namun hal ini tidak membuat apa yang dikatakan Alkitab lalu menjadi salah dan tidak berlaku.
Izinkan saya meringkaskan apa yang telah dikatakan. Kata "membangkitkan" berarti membuat jadi jengkel, membuat tidak berdaya, memanas-manasi, dll. Hal ini dilakukan dengan cara yang salah, yaitu kuasa yang berlebihan, tidak masuk akal, kasar, tuntutan yang kejam, larangan yang tidak perlu. Provokasi semacam ini akan mengakibatkan reaksi yang tidak baik, menumpulkan perasaan, menghilangkan kemauannya untuk hal-hal yang suci, dan membuat dia merasa tidak mungkin bisa memuaskan orangtuanya (saya tahu, saya sudah pernah merasakan dan mengalami itu). Orangtua yang bijaksana (kalau saja saya bisa lebih bijaksana) berusaha membuat ketaatan sebagai sesuatu yang didambakan dan diperoleh dengan cinta kasih dan kelemahlembutan. Orangtua tidak boleh menjadi penindas yang tidak berTuhan.
Martin Luther mengatakan, "Selain tongkat, siapkan apel untuk diberikan kepada anak pada saat dia berbuat yang baik." Disiplin dalam pendidikan dan budaya umum harus dilaksanakan dengan hati-hati dan didikan yang terus menerus dengan banyak doa. Teguran, disiplin dan nasehat berdasarkan Firman Tuhan, menegur dan memuji ketika perlu adalah tanda dari "nasehat." Pengajaran yang diberikan bersumber dari Tuhan, dipelajari dalam sekolah pengalamanan Kristiani, dan dilaksanakan oleh orangtua (ayah). Disiplin Kristen dibutuhkan untuk mencegah anak bertumbuh besar tanpa menghormati Tuhan, otoritas orangtua, pengetahuan akan standar keKristenan dan penguasaan diri.
"Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik" (2 Timotius 3:16-17). Inilah yang dikatakan Alkitab tentang menjadi ayah. Cara dan metode yang dipergunakan ayah untuk mengajarkan kebenaran Allah tentunya akan berbeda. Namun kebenaran-kebenaran itu harus selalu dapat diterapkan dalam pekerjaan apapun, dan dalam cara hidup bagaimanapun. Saat ayah setia menjadi contoh dan teladan, apa yang dipelajari anak mengenai Allah akan memampukan dia berdiri dengan teguh sepanjang umur hidup mereka, apapun yang mereka lakukan atau kemanapun mereka pergi. Mereka akan belajar "mengasihi Tuhan Allah mereka dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap kekuatan mereka" dan mau melayani Dia dalam segala hal yang mereka lakukan.
Menjadi ibu adalah peranan yang sangat penting yang Tuhan berikan kepada banyak perempuan. Dalam Titus 2:4-5 yang berbunyi, "Dan dengan demikian mendidik perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-anaknya, hidup bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangganya, baik hati dan taat kepada suaminya, agar Firman Allah jangan dihujat orang" para ibu diminta untuk mencintai anak-anak mereka. Dalam Yesaya 49:15a Alkitab mengatakan, "Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya?" Kapankah fungsi keibuan dimulai?
Anak adalah hadiah dari Tuhan (Mazmur 127:3-5). Dalam Titus 2:4 muncul kata Bahasa Yunani "phileoteknos." Kata ini mewakili jenis khusus dari "kasih-ibu." Ide yang mengalir keluar dari kata ini adalah "lebih menyukai" anak-anak kita, "memperhatikan" mereka, "membesarkan" mereka, "memeluk mereka dengan kasih sayang," "mencukupi kebutuhan mereka," "berteman dengan lemah lembut." Setiap anak adalah pribadi yang unik yang berasal dari tangan Tuhan. Kita diperintahkan dalam Alkitab untuk melihat "kasih-ibu" sebagai tanggung jawab kita. Baik para ibu maupun para ayah diperintahkan oleh Firman Tuhan untuk melakukan beberapa hal:
Tersedia " pagi, siang dan malam (Ulangan 6:6-7)
Keterlibatan " berinteraksi, berdiskusi, memikirkan dan memproses kehidupan bersama-sama (Efesus 6:4).
Mengajar " Alkitab, pandangan dunia yang Alkitabiah (Mazmur 78:5-6, Ulangan 4:10, Efesus 6:4).
Mendidik " menolong anak mengembangkan keterampilan dan menemukan kekuatannya (Amsal 22:6).
Mendisiplin " mengajarkan takut akan Tuhan, menentukan batas secara konsisten, penuh kasih dan ketegasan (Efesus 6:4; Ibrani 12:5-11, Amsal 13:24, 19:18, 22:15, 23:13-14, 29:15-17).
Membesarkan " menyediakan lingkungan di mana terdapat dukungan secara lisan yang konstan, boleh gagal, penerimaan, kemesraan, kasih yang tanpa syarat (Titus 2:4, 2 Timotius 1:7, Efesus 4:29-32, 5:1-2, Galatia 5:22, 1 Petrus 3:8-9).
Memberi teladan dengan integritas " hidup sesuai dengan apa yang diajarkan, menjadi teladan yang dapat dipelajari oleh anak dengan "menangkap" esensi dari kehidupan yang saleh (Ulangan 4:9, 15, 23; Amsal 10:9, 11:3, Mazmur 37:18, 37).
Alkitab tidak pernah memerintahkan setiap perempuan untuk menjadi ibu. Namun demikian Alkitab mengatakan bahwa mereka yang diberkati Tuhan untuk menjadi ibu harus menerima tanggung jawab itu dengan serius. Para ibu memiliki peranan yang unik dan krusial dalam hidup anak-anak mereka. Menjadi ibu bukanlah tugas atau pekerjaan yang tidak menyenangkan. Sebagaimana ibu mengandung dan memberi makan serta memperhati anak pada masa bayi " para ibu memiliki peranan yang berkelanjutan dalam hidup anak-anak mereka, para remaja, dewasa muda dan bahkan anak yang sudah dewasa. Sekalipun peranan keibuan harus berubah dan berkembang, kasih, perhatian, perawatan, dan dorongan yang diberikan seorang ibu tidak pernah akan berakhir.
Manusia ditugaskan oleh Allah untuk "beranakcucu dan bertambah banyak" (Kejadian 1:28) dan pernikahan ditetapkan Allah sebagai lingkungan yang stabil untuk memiliki dan membesarkan anak. Dalam masyarakat kita anak-anak sering dipandang sebagai gangguan dan masalah. Mereka menghalangi karir, pencapaian finansial dan mengganggu secara sosial. Seringkali kepentingan diri sendiri adalah akar dari penggunaan kontraseptif.
Kejadian 38 menceritakan tentang anak-anak Yehuda, Er dan Onan. Er menikahi seorang perempuan bernama Tamar, namun karena dia jahat Tuhan membunuh dia sehingga Tamar tidak lagi bersuami dan tidak punya anak. Seturut dengan hukum dengan hukum perkawinan ipar dalam Ulangan 25:5-6 Tamar diberikan kepada Onan saudara Er. Onan tidak mau membagi warisannya dengan keturunan yang mungkin dia akan peroleh dari Tamar atas nama kakaknya sehingga dia mempraktekkan bentuk KB yang paling tua. Kejadian 28:10 mengatakan, "Tetapi yang dilakukannya itu adalah jahat di mata TUHAN, maka TUHAN membunuh dia juga." Motivasi Onan adalah untuk mementingkan diri sendiri: dia memanfaatkan Tamar untuk kepuasannya sendiri namun menolak untuk melaksanakan tugasnya sebagai "saudara" untuk menghasilkan keturunan bagi almarhum kakaknya. Bagian ini sering dipakai sebagai bukti bahwa Tuhan tidak menyetujui KB. Namun demikian yang menyebabkan kematian Onan bukanlah metode kontrasepsi yang dia gunakan namun adalah motivasi Onan egois yang melatarbelakangi tindakan itu.
Berikut ini adalah beberapa ayat yang menjelaskan anak dari perpektif Allah. Anak adalah hadiah dari Allah (Kejadian 4:1; Kejadian 33:5). Anak adalah warisan dari Tuhan (Mazmur 127:3-5). Anak adalah berkat dari Tuhan (Lukas 1:42). Anak adalah mahkota orang-orang tua (Amsal 17:6). Allah memberkati perempuan-perempuan mandul dengan anak-anak (Mazmur 113:9; Kejadian 21:1-3; 25:21-22; 30:1-2; 1 Samuel 1:6-8; Lukas 1:7, 24-25). Allah membentuk anak-anak dalam kandungan (Mazmur 139:13-16). Allah mengetahui anak-anak sebelum mereka dilahirkan (Yeremia 1:5; Galatia 1:15).
Adalah penting untuk memandang anak-anak sebagaimana Allah memandang mereka, bukan sebagaimana dunia mau kita pandang. Namun demikian, Alkitab tidak melarang kontrasepsi. Secara definisi, kontrasepsi adalah lawan dari konsepsi. Bukan penggunaan kontrasepsi itu sendiri yang menentukan benar atau salah. Jikalau seseorang menggunakan kontrasepsi karena mementingkan diri sendiri, maka itu adalah salah. Jikalau orang menggunakan kontrasepsi untuk menunda kelahiran untuk sementara waktu sehingga mereka bisa lebih dewasa dan lebih siap secara keuangan dan kerohanian, maka mungkin penggunaan kontrasepsi untuk periode tsb dapat diterima. Kembali semuanya tergantung pada motivasi Anda.
Alkitab selalu memperlihatkan bahwa mempunyai anak adalah hal yang baik. Alkitab "mengharapkan" suami dan isteri memiliki anak. Ketidakmampuan untuk memperoleh anak selalu diperlihatkan dalam Alkitab sebagai hal yang buruk. Tidak ada seorangpun dalam Alkitab yang menyatakan keinginan untuk tidak memiliki anak. Kami percaya bahwa setiap pasangan yang sudah menikah harus berusaha untuk punya anak. Pada saat yang sama kami tidak percaya bahwa ada alasan dari Alkitab yang secara jelas mengatakan bahwa penggunaan kontrasepsi untuk sementara waktu adalah salah. Setiap pasangan yang sudah menikah harus mencari kehendak Tuhan sehubungan dengan kapan mereka akan berusaha untuk memiliki anak, dan berapa banyak anak yang mereka akan miliki.
Dalam cerita anak yang hilang (Lukas 15:11-32) terkandung beberapa prinsip yang dapat diterapkan oleh para orangtua yang beriman untuk menghadapi anak-anak yang berjalan dengan cara yang bertentangan dengan bagaimana mereka dibesarkan oleh orangtua merela. Kita perlu mengingat bahwa begitu anak-anak kita mencapai "kedewasaan" mereka tidak lagi di bawah otoritas orangtua mereka.
Dalam cerita, si anak mengambil harta warisannya dan pergi ke negeri yang jauh dan menghambur-hamburkannya. Untuk anak yang belum lahir kembali, apa yang dilakukan ini adalah hal yang alamiah. Untuk orang yang sudah pernah membuat keputusan untuk mengikuti Kristus, kita menyebutnya sebagai anak yang "terhilang." Kata "terhilang" tidak ditemukan dalam cerita ini. Kata ini berarti, "menghamburkan atau memboroskan atau orang yang menyia-nyiakan sumber daya yang dimilikinya." Karena itu kata ini menggambarkan sang anak dalam Lukas 15 itu. Kata ini juga menggambarkan anak yang meninggalkan rumahnya dan membawa warisan dari orangtuanya, serta melupakan segala didikan, pengajaran, kasih dan perhatian dari orangtua saat anak ini melawan Tuhan. Semua pemberontakan pada utamanya adalah melawan Tuhan dan kemudian dimanifestasikan dalam pemberontakan melawan orangtua dan otoritas mereka. Anak ini kemudian masuk ke dalam dunia dan menghambur-hamburkan warisan mereka dan meninggalkan semua nilai-nilai dari orangtuanya.
Perhatikan bahwa dalam perumpamaan ini, orangtua tidak mencegah anak ini pergi. Orangtua juga tidak mengikuti anak ini dan mencoba melindunginya dari dirinya sendiri. Orangtua tidak mencampuri pilihan atau keputusan yang diambil oleh anak ini. Yang terjadi adalah orangtua ini tetap tinggal di rumah dan dengan setia berdoa, dan ketika anak ini "sadar" dan bertobat dan kembali, orangtua menanti dan melihat anak itu ketika dia masih "jauh" dan lari menyambut dia.
Prinsip-prinsipnya adalah sbb: ketika anak-anak kita keluar rumah dan membuat keputusan-keputusan yang kita tahu akan mengakibatkan konsekwensi yang besar, orangtua harus bersedia melepaskan dan mengizinkan mereka untuk pergi. Orangtua tidak perlu mengikuti dan mencampuri konsekwensi yang akan ditanggung. Orangtua seharusnya tinggal di rumah, berdoa dengan setia dan memperhatikan tanda-tanda penyesalan dan pertobatan. Kecuali saat itu tiba, orangtua tidak perlu menasehati, bertanggung jawab untuk pemberontakan mereka dan tidak menjadi orang yang suka campur urusan orang lain (1 Petrus 4:15).
Begitu anak-anak kita mencapai usia "dewasa" secara hukum, mereka hanya tunduk kepada kuasa Allah dan otoritas yang didelegasikan pada pemerintah (Roma 13:1-7). Sebagai orangtua kita dapat berjalan bersama dengan anak-anak kita saat mereka berjalan kepada Tuhan. Allah menggunakan kesusahan yang dihasilkan sendiri dan "pendidikan anak" untuk memberi hikmat kepada setiap orang, dan tergantung pada setiap individu apakah mereka akan berespon dengan tepat atau tidak. Sebagai orangtua kita tidak dapat menyelamatkan anak-anak kita, hanya Tuhan yang dapat melakukan hal itu. Dalam ketaatan kita mendidik mereka di dalam Tuhan ketika kita memiliki kesempatan itu (Efesus 6:4) dan kemudian mengijinkan mereka untuk mengambil keputusan sendiri. Sampai saat itu terjadi, kita menanti dan berdoa serta menyerahkannya ke dalam tangan Tuhan. Ini mungkin merupakan proses yang menyakitkan, namun ketika dilakukan menurut pandangan Tuhan akan menghasilkan damai di hati. Kita tidak dapat menghakimi anak-anak kita, hanya Tuhan yang dapat. Dalam hal ini ada penghiburan besar, "Masakan Hakim segenap bumi tidak menghukum dengan adil?" (Kejadian 18:25b).
Masalah infertilitas dapat merupakan sesuatu yang amat sulit, khususnya untuk pasangan yang mendambakan anak dalam hidup mereka. Pasangan Kristen mendapatkan diri mereka bertanya, "Mengapa kami, Tuhan?" Sudah barang tentu Allah menghendaki orang-orang Kristen diberkati dengan anak untuk mereka kasihi dan didik. Untuk pasangan yang secara fisik sehat, aspek infertilitas yang paling menusuk hati adalah ketidaktahuan apakah kondisi mereka itu hanya sementara atau permanen. Kalau sementara, berapa lama mereka harus menunggu? Kalau permanen, bagaimana mereka mengetahui itu, dan apa yang harus mereka lakukan?
Alkitab menggambarkan masalah infertilitas sementara dalam beberapa cerita:
Allah menjanjikan Abraham dan Sarah seorang anak, namun dia tidak melahirkan anak, Ishak, sampai berusaha 90 tahun (Kejadian 11:30). Ishak, suami Ribka, berdoa dengan tekun, dan Allah menjawab, menghasilkan dilahirkannya Yakub dan Esau (Kejadian 25:21).
Rahel berdoa, dan pada akhirnya Allah "membuka kandungannya." Dia melahirkan dua orang anak laki-laki, Yusuf dan Benyamin (Kejadian 30:1; 35:18).
Isteri Manoah, yang tidak subur untuk suatu waktu, melahirkan Samson (Hakim 13:2).
Elizabet dalam usianya yang lanjut melahirkan Yohanes Pembaptis, pembuka jalan bagi Kristus (Lukas 1:7, 36).
Mandulnya Sarah, Ribka, dan Rahel (semua adalah ibu dari bangsa Israel) adalah penting di mana kemampuan mereka untuk pada akhirnya beranak merupakan tanda anugrah dan perkenanan Allah. Namun demikian, pasangan yang tidak subur tidak boleh beranggapan bahwa Allah menahan anugrah dan perkenanan-Nya, dan juga tidak boleh beranggapan bahwa mereka sementara dihukum. Pasangan Kristen harus berpegang pada pengetahuan bahwa dosa mereka telah diampuni di dalam Kristus, dan bahwa ketidakmampuan mereka mendapatkan anak bukanlah hukuman dari Allah.
Jadi apa yang dapat dilakukan pasangan Kristen yang tidak subur? Adalah bagus mendapatkan nasihat dari para ahli kandungan dan ahli kesuburan. Baik laki-laki maupun perempuan harus hidup sehat untuk mempersiapkan diri untuk kehamilan. Para ibu bangsa Israel berdoa dengan sungguh-sungguh untuk dapat mengandung, jadi terus berdoa untuk mendapat anak jelas bukan sesuatu yang tidak pantas. Namun utamanya, kita harus berdoa untuk kehendak Allah bagi hidup kita. Kalau Dia menghendaki kita memiliki anak kandung, kita akan. Kalau adalah kehendak-Nya untuk kita mengadopsi, menjadi orangtua asuh, atau tetap tanpa anak, maka itu yang akan kita terima dan lakukan dengan senang hati. Kita tahu bahwa Allah memiliki rencana illahi untuk setiap orang yang dikasihi-Nya. Allah adalah Sumber kehidupan. Dia mengizinkan pembuahan dan mencegah pembuahan. Allah berdaulat dan memiliki segala hikmat dan pengetahuan (lihat Roma 11:33-36). "Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas," (Yak 1:17). Mengetahui dan menerima kebenaran ini memberi kita kekuatan untuk mengisi kekosongan hati pasangan yang tidak subur.
Menghormati ayah dan ibu adalah menunjukkan penghormatan dalam kata-kata dan perbuatan dan di dalam hati bersikap menghargai posisi mereka. Kata bahasa Yunani untuk menghormati berarti "memuja, menjunjung dan menghargai." Menghormati adalah menunjukkan respek bukan saja untuk jasa namun juga untuk kedudukan. Misalnya, sebagian orang Amerika mungkin berbeda pendapat dengan keputusan Presiden, namun mereka masih tetap menghormati posisinya sebagai pemimpin negara mereka. Demikian pula anak berumur berapapun harus menghormati orangtua mereka, tanpa memandang apakah orangtua mereka "layak" dihormati.
Allah menasihati kita untuk menghormati ayah dan ibu. Dia begitu menghargai penghormatan kepada orangtua sampai mencantumkannya dalam Sepuluh Hukum (Keluaran 20:12) dan juga di dalam Perjanjian Baru: "Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu"ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi" (Ef 6:1-3). Menghormati orangtua adalah satu-satunya perintah di dalam Alkitab yang menjanjikan umur panjang sebagai hadiah. Mereka yang menghormati orangtuanya akan diberkati (Yeremiah 35:18-19). Sebaliknya mereka yang "pikirannya terkutuk" dan mereka yang tidak beribadah pada akhir zaman akan diwarnai dengan ketidaktaatan kepada orangtua (Roma 1:30, 2 Timotius 3:2).
Salomo, orang yang paling bijak, menasihati anak-anak untuk menghormati orangtua mereka (Amsal 1:8; 13:1; 30:17). Meskipun kita mungkin tidak lagi secara langsung berada di bawah otoritas mereka, kita tidak bisa lepas dari perintah Allah untuk menghormati orangtua kita. Bahkan Yesus, Anak Allah, menundukkan diri-Nya kepada kedua orangtua-Nya di bumi (Lukas 2:51) dan kepada Bapa Surgawi-Nya (Matius 26:39). Dengan meneladani Kristus, kita harus memperlakukan orangtua kita sama seperti kita menghampiri Bapa surgawi kita dengan hormat (Ibrani 12:9; Maleakhi 1:6).
Sudah jelas bahwa kita diperintahkan untuk menghormati orangtua kita, namun bagaimana? Hormati mereka baik dengan perbuatan dan sikap kita (Markus 7:6). Hormati hasrat mereka, baik yang diungkapkan maupun yang tidak. "Anak yang bijak mendengarkan didikan ayahnya, tetapi seorang pencemooh tidak mendengarkan hardikan" (Ams 13:1). Yesus mengingatkan orang-orang Farisi akan perintah Allah untuk menghormati ayah dan ibu mereka. Mereka menaati kata-kata Taurat, namun mereka menambah tradisi mereka sendiri yang pada dasarnya lebih berkuasa dari Taurat. Sekalipun secara kata-kata mereka menghormati orangtua mereka, tindakan mereka menunjukkan motif mereka yang sebenarnya. Penghormatan adalah lebih dari sekedar basa basi. Kata "menghormati" dalam bagian ini adalah kata kerja, dan itu berarti membutuhkan tindakan yang benar.
Kita harus berusaha menghormati orangtua kita sama seperti kita berusaha memuliakan Allah " dalam pikiran, perkataan dan perbuatan kita. Untuk anak yang masih kecil, menaati orangtua dan menghormati mereka adalah sama. Itu termasuk mendengar, memperhatikan dan tunduk kepada otoritas mereka. Setelah anak menjadi dewasa, ketaatan yang mereka pelajari sebagai anak akan menjadi bekal dalam menghormati pihak-pihak yang berwenang, seperti pemerintah, polisi dan majikan.
Sekalipun kita diminta menghormati orangtua, itu tidak termasuk meniru yang tidak beribadah (Yehezkiel 20:18-19). Kalau orangtua sampai mengajar anak melakukan sesuatu yang jelas-jelas bertolak belakang dengan perintah Allah, anak itu harus menaati Allah lebih dari orangtuanya (Kisah 5:28).
Hormat melahirkan penghormatan. Allah tidak menghormati mereka yang tidak menaati perintah-Nya untuk menghormati orangtua mereka. Kalau kita mau menyenangkan Allah dan diberkati, kita harus menghormati orangtua kita. Menghormati tidaklah mudah, tidak selalu menyenangkan, dan jelas tidak mungkin dengan kekuatan kita sendiri. Namun menghormati adalah jalan yang pasti untuk tujuan hidup kita " memuliakan Allah. "Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan." (Kol 3:20)
Alkitab tidak memberi denah langkah demi langkah untuk urutan prioritas dalam hubungan keluarga. Namun demikian, kita tetap dapat mengacu pada Kitab Suci dan menemukan prinsip umum untuk mengatur prioritas dalam hubungan keluarga kita. Jelas Allah adalah yang pertama: Ulangan 6:5, "Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu" (Ul 6:5). Seluruh hati, jiwa dan kekuatan harus diberikan untuk mengasihi Allah, menjadikan Dia sebagai prioritas utama.
Kalau Anda menikah, pasangan Anda adalah berikutnya. Suami harus mencintai isterinya sebagaimana Kristus mencintai gereja-Nya (Efesus 5:25). Prioritas utama Kristus " setelah menaati dan memuliakan Bapa-Nya " adalah gereja. Berikut ini adalah contoh yang harus diikuti oleh seorang suami: Allah dulu, kemudian isteri. Demikian pula, isteri harus tunduk kepada suami "seperti kepada Tuhan" (Efesys 5:22). Prinsipnya adalah suami hanya lebih belakang dari Allah dalam prioritasnya.
Kalau suami dan isteri hanya lebih belakang dari Allah dalam prioritas kita, dan karena suami dan isteri adalah satu daging (Efesus 5:31) maka masuk akal bahwa hasil dari hubungan pernikahan - anak-anak - adalah prioritas berikutnya. Orangtua harus membesarkan anak-anak yang takut kepada Allah yang menjadi generasi penerus dari mereka yang mengasihi Allah dengan segenap hatinya (Amsal 22:6; Efesus 6:4), kembali memperlihatkan bahwa Allah adalah yang paling utama. Semua hubungan keluarga harus mencerminkan hal itu.
Ulangan 5:16 memberitahu kita untuk menghormati orangtua kita supaya kita berusia lanjut dan supaya segala sesuatunya berjalan dengan baik untuk kita. Tidak ada batasan umur yang disebutkan, yang membuat kita percaya bahwa seumur hidup mereka, orangtua harus dihormati. Tentu saja, begitu anak mencapai kedewasaan, dia tidak lagi wajib menaati mereka ("Anak-anak, taatilah orangtuamu ..."), namun tidak ada batasan umur untuk menghormati mereka. Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa orangtua adalah yang berikut dalam daftar prioritas, sesudah Allah, pasangan kita, dan anak-anak kita. Setelah orangtua, berikutnya adalah sisa keluarga kita (1 Timotius 5:8).
Setelah keluarga besar dalam daftar prioritas adalah sesama orang percaya. Roma 14 memberitahu kita untuk tidak menghakimi atau memandang rendah saudara-saudara (v.10) atau melakukan sesuatu yang mengakibatkan sesama orang Kristen "tersandung" atau jatuh secara rohani. Banyak dari kitab 1 Korintus adalah nasihat Paulus mengenai bagaimana gereja harus hidup bersama secara harmonis, saling mengasihi satu dengan yang lain. Nasihat lainnya merujuk pada saudara saudari seiman di dalam Kristus adalah "melayani seorang dengan yang lain dalam kasih" (Galatia 5:13); "ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu" (Ef 4:32), "nasihatilah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu" (1Tes 5:11); dan "marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik." (Ibr 10:24). Akhirnya seluruh dunia (Matius 28:19) yang kita harus beritakan Injil, menjadikan murid-murid Kristus.
Sebagai penutup, urutan prioritas Alkitab adalah Allah, pasangan, anak-anak, orangtua, keluarga besar, saudara dan saudari di dalam Kristus, dan kemudian seluruh dunia. Sekalipun kadang-kadang kita harus lebih berfokus pada seseorang dibandingkan orang lainnya, tujuannya adalah jangan sampai mengabaikan hubungan kita. Keseimbangan Alkitab memungkinkan Allah memberdayakan kita untuk menggenapi semua prioritas hubungan kita, di dalam dan di luar keluarga kita.
Memberi anak untuk diadopsi dapat merupakan alternatif yang penuh kasih dari orangtua yang mungkin, dengan satu atau alasan lainnya, tidak sanggup memelihara anak mereka sendiri. Itu dapat menjadi jawaban doa bagi banyak pasangan yang tidak sanggup memiliki anak sendiri. Adopsi, bagi beberapa orang, adalah panggilan untuk melipatgandakan dampak mereka sebagai orangtua dengan meluaskan keluarga mereka dengan anak-anak yang bukan milik mereka sendiri secara biologis. Adopsi dibicarakan sebagai sesuatu yang baik dalam Alkitab.
Kitab Keluaran mengisahkan tentang seorang perempuan Ibrani bernama Yokhebed yang melahirkan seorang putra pada saat Firaun memerintahkan untuk semua bayi laki-laki Ibrani dibunuh (Keluaran 1:15-22). Yokhebed mengambil keranjang, membuatnya tahan air dan menghanyutkan bayi itu di sungai dalam keranjang itu. Salah satu putri Firaun melihat keranjang itu dan mengambil anak itu. Akhirnya dia mengadopsi anak itu ke dalam keluarga kerajaan dan menamai dia Musa. Dia kemudian menjadi hamba Allah yang setia dan terpuji (Keluaran 2:1-10).
Dalam kitab Ester, seorang putri yang cantik bernama Ester yang diadopsi oleh sepupunya setelah meninggalnya orangtuanya, menjadi ratu, dan Allah menggunakan dia untuk membawa pembebasan bagi bangsa Yahudi. Dalam Perjanjian Baru, Yesus Kristus dikandung melalui Roh Kudus dan bukan melalui benih seorang laki-laki (Matius 1:18). Dia kemudian "diadopsi" dan dibesarkan oleh suami ibu-Nya, Yusuf, yang mengambil Yesus sebagai anaknya sendiri.
Begitu kita memberi hati kita kepada Kristus, percaya kepada-Nya untuk keselamatan, Allah mengatakan bahwa kita menjadi anggota keluarga-Nya - bukan melalui proses kandungan yang biasa untuk manusia, namun melalui adopsi. "Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: "ya Abba, ya Bapa!"" (Rm 8:15). Demikian pula memasukkan seseorang ke dalam keluarga melalui adopsi dilakukan berdasarkan pilihan dan karena kasih. "Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya" (Ef 1:5). Sama seperti Allah mengadopsi mereka yang menerima Kristus sebagai Juruselamat ke dalam keluarga rohani-Nya, demikian pula kita dengan berdoa mempertimbangkan mengadopsi anak ke dalam keluarga jasmani kita.
Jelas bahwa adopsi " baik dalam pengertian fisik maupun rohani " adalah sesuatu yang baik dalam Alkitab. Baik yang mengadopsi maupun yang diadopsi mendapatkan berkat yang luar biasa, hak yang ditunjukkan oleh kita diadopsi ke dalam keluarga Allah.
Anak yang suka memberontak mungkin melakukannya karena beberapa hal. Orangtua yang keras, tidak mengasihi dan suka mengeritik hampir selalu akan menghasilkan semacam pemberontakan. Bahkan anak yang paling taat sekalipun akan memberontak " di dalam maupun di luar " kalau menghadapi perlakuan semacam itu. Sudah barang tentu sikap orangtua semacam ini harus dihindari. Selain itu, pemberontakan terhadap orangtua sampai tingkat tertentu merupakan hal yang wajar di antara para remaja yang perlahan-lahan mulai menjauh dari keluarga mereka sebagai bagian dari proses mendapatkan kehidupan dan identitas mereka sendiri.
Kalau anak yang memberontak itu memang memiliki kepribadian yang keras, dia akan cenderung mencoba batas-batas yang ada, keinginan yang besar untuk memegang kendali dan komitmen untuk melawan semua otoritas. Dengan kata lain, pemberontakan sudah merupakan hidupnya. Selain itu, anak-anak yang berkemauan keras dan suka melawan ini sering sangat cerdas dan mampu "mengenali" situasi dengan cepat, sehingga dapat memperoleh cara untuk mengendalikan keadaan dan orang-orang di sekitarnya. Bagi orangtuanya, anak-anak ini dapat sangat melelahkan dan memusingkan.
Untungnya, adalah benar bahwa Allah telah menciptakan anak-anak ini sebagaimana adanya mereka. Dia mengasihi mereka dan tidak membiarkan orangtua tanpa cara untuk menghadapi tantangan ini. Ada prinsip-prinsip Alkitab yang berbicara mengenai bagaimana menghadapi anak-anak yang suka melawan dan berkemauan keras ini dengan penuh kasih karunia. Pertama-tama, Amsal 22:6 memberitahu kita untuk "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." Bagi semua anak, jalan mereka yang seharusnya adalah menuju kepada Allah. Mengajar anak-anak akan Firman Allah adalah penting bagi semua anak yang harus memahami siapakah Allah dan bagaimana melayani Dia dengan sebaik-baiknya. Dengan anak yang keras, memahami apa yang memotivasi dia - keinginan untuk memegang kendali - dapat amat membantu dalam menolong dia menemukan "jalannya." Anak yang suka memberontak adalah seseorang yang harus memahami bahwa dia tidak mengendalikan dunia " tapi Allahlah " dan dia harus melakukan segalanya sesuai dengan cara Allah. Hal ini membutuhkan orangtua yang yakin penuh akan kebenaran ini dan hidup sesuai dengan kebenaran ini. Orangtua yang sendirinya memberontak kepada Allah tidak akan sanggup meyakinkan anaknya untuk tunduk.
Begitu diterima bahwa Allah adalah Yang membuat peraturan, orangtua harus menanamkan dalam pikiran anak bahwa mereka adalah alat dalam tangan Allah dan harus melakukan apa saja yang diperlukan untuk menggenapkan rencana Allah bagi keluarga mereka. Anak yang memberontak harus diajar bahwa rencana Allah bagi orangtua adalah untuk menuntun dan bagi anak adalah untuk mengikuti. Tidak boleh ada kelemahan dalam poin ini. Anak yang berkemauan keras dapat melihat keraguan dan akan segera memanfaatkan kesempatan untuk mengisi kekosongan kepemimpinan dan mengambil alih kendali. Prinsip tunduk pada otoritas adalah penting untuk anak yang berkemauan keras. Kalau pada waktu kecil dia tidak belajar untuk tunduk, masa depan akan diwarnai dengan konflik dengan otoritas, termasuk atasan, polisi, hukum dan pemimpin militer. Roma 13:1-5 jelas bahwa otoritas atas kita ditetapkan oleh Allah dan kita harus tunduk kepadanya.
Dan juga anak yang berkemauan keras hanya akan taat secara sukarela pada peraturan atau hukum yang masuk akal bagi mereka. Beri dia alasan-alasan yang kuat untuk suatu peraturan, terus menerus menekankan bahwa kita melakukan apa yang Allah inginkan dan bahwa hal itu tidak dapat dinegosiasikan lagi. Jelaskan bahwa Allah memberi orangtua tanggung jawab untuk mengasihi dan mendisiplin anak-anak mereka dan kalau orangtua tidak melakukan itu berarti orangtua tidak menaati-Nya. Namun demikian, ketika memungkinkan, berikan anak kesempatan untuk ambil bagian dalam pengambilan keputusan sehingga tidak tidak merasa sama sekali tidak berdaya. Misalnya, pergi ke gereja tidak dapat lagi dirundingkan karena Allah memerintahkan kita untuk berkumpul bersama dengan orang-orang percaya lainnya (Ibrani 10:25) namun anak-anak boleh mengutarakan (dalam batasan tertentu) pakaian apa yang mereka mau kenakan, di mana keluarga duduk, dll. Beri mereka proyek di mana mereka bisa memberi masukan seperti merencanakan liburan keluarga.
Lebih dari itu, mendidik anak harus dilakukan dengan konsistensi dan kesabaran. Orangtua harus berusaha untuk tidak berteriak atau memukul dengan marah atau kehilangan kesabaran. Hal ini akan memberi anak yang berkemauan keras kontrol yang dia inginkan, dan dengan cepat dia akan belajar bagaimana mengendalikan Anda dengan membuat Anda jengkel sampai pada titik di mana Anda akan bereaksi secara emosional. Hukuman fisik sering tidak berhasil dengan anak-anak semacam ini karena mereka suka membuat orangtuanya merasa tidak tahan sehingga mereka akan merasa rasa sakit yang mereka alami sebagai harga yang pantas untuk dibayar. Orangtua yang memiliki anak yang berkemauan keras sering mengatakan bahwa anak mereka tertawa saat mereka dipukul pantatnya sehingga memukul mereka mungkin bukan metode disiplin yang tepat untuk anak-anak semacam ini. Mungkin tidak ada tempat lain di mana buah roh Kristen kesabaran dan pengendalian diri (Galatia 5:23) lebih diperlukan dibandingkan dengan menghadapi anak yang berkepribadian keras/memberontak.
Betapapun melelahkannya mendidik anak-anak semacam ini, orangtua bisa mendapatkan penghiburan dalam janji Allah untuk tidak mencobai kita melampaui kemampuan kita menanggungnya (1 Korintus 10:13). Kalau Allah memberi anak yang berkepribadian keras, orangtua dapat yakin bahwa Allah tidak berbuat salah dan sanggup menyediakan bimbingan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan tugas mereka. Kata-kata "tetaplah berdoa" paling bermakna dalam hidup orangtua dengan anak-anak remaja yang berkepribadian keras. Orangtua dari anak-anak ini harus menggunakan banyak waktu berlutut di hadapan Tuhan untuk meminta hikmat, yang Dia janji akan berikan (Yakobus 1:5). Akhirnya ada penghiburan ketika mengetahui bahwa anak-anak yang berkepribadian keras yang dididik dengan baik sering kali tumbuh dewasa menjadi orang-orang yang berprestasi tinggi dan sukses. Banyak anak-anak yang memberontak yang berubah menjadi orang-orang Kristen yang berani dan berkomitmen yang menggunakan talenta mereka yang banyak untuk melayani Tuhan yang mereka kasihi dan hormati melalui upaya orangtua mereka yang sabar dan rajin.
Meskipun laki-laki dan perempuan setara dalam hubungan dengan Kristus, Alkitab memberi peran yang khusus kepada masing-masing dalam pernikahan. Suami harus mengepalai keluarga (1 Korintus 11:3; Efesus 5:23). Kepemimpinan ini tidak boleh bersifat diktator, merendahkan atau menghina istri, namun harus sesuai dengan teladan Kristus dalam memimpin gereja.
"Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman" (Ef 5:25-26). Kristus mengasihi gereja (umat-Nya) dengan belas kasihan, kemurahan, pengampunan, hormat dan tidak mementingkan diri.
Demikian pula suami harus mencintai istri.
Istri harus tunduk pada otoritas suami mereka.
"Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu" (Ef 5:22-24). Meskipun perempuan harus tunduk kepada suami mereka, Alkitab juga berkali-kali memberitahu laki-laki bagaimana seharusnya memperlakukan istri mereka. Suami tidak boleh berlaku sebagai diktator, namun harus menghormati istri dan pendapatnya. Kenyataannya, Efesus 5:28-29 menasihati laki-laki untuk mencintai istri mereka sama seperti mereka mencintai tubuh sendiri, memberi makan dan merawatnya. Cinta seorang laki-laki terhadap istri harus sama seperti kasih Kristus terhadap tubuh-Nya, gereja.
"Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia" (Kol 3:18-19). "Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang" (1Pet 3:7). Dari ayat-ayat ini kita melihat bahwa kasih dan rasa hormat mewarnai peranan suami dan istri. Kalau itu ada, maka otoritas, kepala, kasih dan ketaatan tidak akan menjadi masalah untuk pasangan manapun.
Dalam kaitan dengan pembagian tanggung jawab dalam rumah tangga, Alkitab memerintahkan suami untuk menyediakan nafkah bagi keluarganya. Ini berarti dia bekerja dan mencari nafkah yang cukup untuk mencukupi semua kebutuhan hidup istri dan anak-anaknya. Tidak melakukan ini memiliki konsekuensi rohani yang pasti.
"Tetapi jika ada seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman" (1 Tim 5:8).
Tidak berarti istri tidak bisa membantu menghidupi keluarga " Amsal 31 menunjukkan bahwa istri yang rohani jelas melakukan itu " namun mencukupi kebutuhan keluarga bukanlah tanggung jawabnya yang utama; itu adalah tanggung jawab suaminya. Sekalipun suami sepatutnya membantu mengurusi anak-anak dan pekerjaan rumah tangga (sehingga memenuhi kewajibannya untuk mencintai istrinya), Amsal 31 juga menyatakan dengan jelas bahwa rumah tangga adalah wilayah pengaruh dan tanggung jawab utama dari perempuan. Sekalipun dia harus tidur pada larut malam dan bangun pagi-pagi, keluarganya tidak kekurangan. Ini bukanlah gaya hidup yang mudah bagi banyak perempuan " khususnya di negara Barat yang maju. Namun demikian, terlalu banyak perempuan yang begitu stress dan hanmpir tidak tertahankan. Untuk mencegah stress semacam itu, baik suami maupun istri harus dengan berdoa mengatur kembali prioritas mereka dan mengikuti petunjuk-petunjuk Alkitab untuk peranan mereka.
Konflik mengenai pembagian tugas dalam pernikahan pasti akan terjadi, namun jika kedua pihak tunduk kepada Kristus, konflik ini akan minim. Kalau suatu pasangan sering ribut dan panas dalam soal ini, atau kalau perselisihan kelihatan mewarnai pernikahan, masalahnya bersifat rohani. Dalam keadaan begini, pasangan harus terlebih dahulu berdoa dan menundukkan diri kepada Kristus terlebih dahulu, baru kemudian kepada satu dengan lainnya dalam sikap kasih dan hormat.