Atheisme adalah pandangan bahwa tidak ada Allah. Atheisme bukanlah perkembangan baru. Mazmur 14:1 yang ditulis oleh Daud sekitar tahun 1.000 SM menyebut tentang atheisme " "Orang bebal berkata dalam hatinya: "Tidak ada Allah" (Mazmur 14:1). Statistik baru-baru ini menunjukkan meningkatnya angka orang-orang yang menjadi atheis, di mana angka orang-orang yang menyatakan diri sebagai penganut atheisme mencapai 10% dari orang-orang di dunia. Jadi mengapa makin banyak orang yang menjadi penganut atheis? Apakah atheisme benar-benar adalah posisi yang logis sebagaimana yang diklaim oleh para penganutnya?
Mengapa atheisme ada? Mengapa Allah tidak mengungkap diri kepada orang sehingga membuktikan bahwa Dia ada? Kalau Allah menyatakan diri pastilah semua orang akan percaya kepadaNya! Masalahnya adalah Tuhan bukan hanya mau meyakinkan manusia bahwa Dia ada. Kehendak Allah adalah untuk orang percaya kepadaNya dengan iman (2 Petrus 3:9) dan menerima karunia keselamatan (Yohanes 3:16). Ya, Allah bisa saja memperlihatkan diri dan dengan tuntas membuktikan keberadaanNya. Masalahnya adalah Allah telah berkali-kali membuktikan keberadaanNya dalam Perjanjian Lama (Kejadian 6-9; Keluaran 14:21-22; 1 Raja-Raja 18:19-31). Apakah orang percaya bahwa Allah itu ada? Ya! Apakah mereka berpaling dari jalan yang jahat dan menaati Allah? Tidak! Jika seseorang tidak bersedia menerima keberadaan Allah dengan iman, maka jelas mereka tidak siap untuk dengan iman menerima Yesus sebagai Juruselamat mereka (Efesus 2:8-9). Itulah yang dikehendaki Allah " supaya orang-orang menjadi orang Kristen dan bukan hanyak kaum theis (orang-orang yang percaya bahwa Allah itu ada).
Alkitab memberitahu kita bahwa keberadaan Allah harus diterima dengan iman. Ibrani 11:6 mengatakan, "Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia." Alkitab mengingatkan kita bahwa kita adalah orang-orang yang berbahagia saat kita percaya kepada Allah dalam iman, "Kata Yesus kepadanya: "Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya"" (Yohanes 20:29).
Fakta bahwa keberadaan Allah harus diterima dengan iman tidak berarti kepercayaan kepada Allah tidak logis. Ada banyak argumen yang bagus untuk keberadaan Allah. Silahkan kunjungi halaman "Apakah Allah ada?" Alkitab mengajarkan bahwa keberadaan Allah dapat dilihat dengan jelas dalam jagad raya (Mazmur 19:2-5), dalam alam (Roma 1:18-22) dan dalam hati kita sendiri (Pengkhotbah 3:11). Sesudah mengatakan semua itu, sekali lagi keberadaan Allah tidak dapat dibuktikan, harus diterima dengan iman.
Pada saat yang sama, juga dibutuhkan banyak iman untuk bisa percaya pada atheisme. Membuat pernyataan mutlak "Allah tidak ada!" adalah mengklaim mengetahui secara mutlak segala sesuatu yang perlu diketahui tentang segala sesuatu " dan menyatakan bahwa sudah pernah mengunjungi semua tempat " dan menyaksinya semua hal. Pada dasarnya itulah yang mereka klaim ketika mereka mengatakan bahwa Allah tidak ada. Kaum atheis tidak dapat membuktikan misalnya, bahwa Allah tidak berdiam di tengah-tengah matahari, atau di bawah awan Yupiter, atau di nebula yang jauh. Hal ini tidak dapat dibuktikan, sehingga tidak ada bukti bahwa Allah tidak ada. Ini tidak dapat dibuktikan sehingga tidak ada bukti bahwa Allah itu tidak ada. Untuk menjadi orang atheis diperlukan iman sebanyak menjadi orang theis.
Jadi kita kembali ke garis awal. Atheisme tidak dapat dibuktikan dan keberadaan Allah harus diterima dengan iman. Saya percaya, dengan kuat, bahwa Allah ada. Saya bersedia mengakui bahwa kepercayaan saya pada keberadaan Allah adalah berdasarkan iman. Pada saat yang sama dengan tegas saya menolak ide bahwa kepercayaan pada Allah adalah tidak logis. Saya percaya bahwa keberadaan Allah dapat dengan jelas dilihat, dirasakan dan dibuktikan secara filosofis dan ilmiah di mana perlu. Sekali lagi, untuk informasi lebih lanjut silahkan kunjungi halaman "Apakah Allah ada?" Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam. Tidak ada berita dan tidak ada kata, suara mereka tidak terdengar; tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi. Ia memasang kemah di langit untuk matahari" (Mazmur 19:2-5).
Agnostisisme adalah pandangan bahwa keberadaan Allah tidak mungkin diketahui atau dibuktikan. Kata "agnostik" pada dasarnya berarti "tanpa pengetahuan." Agnostisisme adalah bentuk atheisme yang secara intelektual lebih jujur. Atheisme mengklaim bahwa tidak ada Allah " suatu posisi yang tidak dapat dibuktikan. Agnostisisme berargumentasi bahwa keberadaan Allah tidak dapat dibuktikan atau disangkali " adalah tidak mungkin untuk mengetahui apakah Allah itu ada. Dalam konsep ini agnostisisme benar. Keberadaan Allah tidak dapat dibuktikan atau disangkali secara empiris.
Alkitab memberitahu kita bahwa kita harus menerima dengan iman bahwa Allah itu ada. Ibrani 11:6 mengatakan, "Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia." Allah itu Roh (Yohanes 4:24) sehingga Dia tidak dapat dilihat atau disentuh. Kecuali Allah memperlihatkan diriNya sendiri pada hakekatnya Allah tidak dapat kita ketahui dari indera kita (Roma 1:20). Alkitab menginstruksikan bahwa keberadaan Allah dapat disaksikan dengan jelas dalam jagad raya (Mazmur 19:2-5), dirasakan dalam alam (Roma 1:18-22) dan diteguhkan dalam hati kita sendiri (Pengkhotbah 3:11).
Agnostisisme pada hakekatnya adalah penolakan untuk mengambil keputusan apakah Allah ada atau tidak. Ini adalah bentuk paling utama dari ketidakmampuan untuk mengambil keputusan. Kaum theistik percaya bahwa Allah itu ada. Atheis percaya bahwa Allah tidak ada. Agnostik percaya bahwa kita tidak boleh percaya atau tidak percaya akan keberadaan Allah karena tidak mungkin untuk mengetahui atau menyangkalinya.
Demi untuk diskusi, mari kita menyingkirkan bukti-bukti yang jelas dan tak dapat disangkal mengenai keberadaan Allah. Jika kita menempatkan theisme dan atheisme/agnostisisme dalam posisi yang sama mana yang lebih masuk "akal" dalam kaitannya dengan kemungkinan adanya hidup sesudah mati? Kalau tidak ada Allah penganut theisme dan atheisme/agnostisisme akan berhenti berada setelah mereka mati. Kalau Allah itu ada, kaum atheis dan agnostik harus bertanggungjawab kepada Seseorang setelah mereka mati. Dari sudut pandang ini adalah lebih masuk "akal" untuk mengikuti theisme daripada atheisme/agnostisisme. Jikalau kedua posisi ini tidak dapat dibuktikan atau disangkali, bukankah akan lebih bijaksana untuk percaya pada posisi yang lebih menguntungkan dalam kekekalan?
Adalah wajar untuk memiliki keraguan. Ada begitu banyak hal dalam dunia ini yang tidak dapat kita mengerti. Sering orang ragu akan keberadaan Allah karena mereka tidak dapat memahami atau tidak setuju dengan hal-hal yang Dia lakukan dan ijinkan. Namun demikian, kita sebagai manusia yang terbatas tidak dapat berharap untuk dapat sepenuhnya memahami Allah yang tidak terbatas. Roma 11:33-34 mengatakan, "O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya?" Kita harus percaya kepada Allah dengan iman dan percaya pada jalan-jalannya dengan iman. Allah siap dan bersedia mengungkapkan diriNya dengan cara yang ajaib kepada mereka yang mau percaya kepadaNya. Ulangan 4:29 mengatakan, "Dan baru di sana engkau mencari TUHAN, Allahmu, dan menemukan-Nya, asal engkau menanyakan Dia dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu."
Annihilasionisme adalah kepercayaan bahwa orang-orang yang tidak percaya tidak akan mengalami penderitaan kekal di neraka, namun akan "dipadamkan" setelah kematian. Kepercayaan annihilasionisme adalah akibat kesalahpahaman terhadap salah satu atau beberapa doktrin berikut ini: (1) akibat-akibat dosa, (2) keadilan Allah, (3) natur neraka.
Dalam kaitannya dengan natur neraka, kaum annihilasionis salah mengerti arti dari lautan api. Jelaslah bahwa jika manusia dilempatkan ke dalam lautan lahar yang bernyala-nyala mereka akan langsung habis dimangsa api. Namun demikian, lautan api bersifat jasmani dan rohani. Yang dilemparkan ke dalam lautan api bukan hanya tubuh manusia, tapi tubuh, jiwa dan roh. Hal yang rohani tidak dapat dimangsa oleh api yang bersifat jasmaniah. Nampaknya orang-orang tidak percaya dibangkitkan dengan tubuh yang dipersiapkan untuk kekekalan, sama halnya dengan orang-orang percaya (Wahyu 20:13; Kisah Rasul 24:15). Tubuh-tubuh ini disiapkan untuk kekekalan.
Kekekalan adalah aspek lain yang tidak dimengerti secara cukup oleh kaum annihilasionis. Kaum annihilasionis benar bahwa kata bahasa Yunani "aionion" yang biasanya diterjemahkan "kekal" secara definisi bukan berarti kekal. Kata ini secara spesifik menunjuk pada "era" atau "eon", suatu periode waktu yang spesifik. Namun demikian, dalam Perjanjian Baru nyata dengan jelas bahwa "aionion" kadang-kadang digunakan untuk menunjuk pada waktu yang kekal. Wahyu 20:10 berbicara mengenai Iblis, binatang dan nabi palsu dilemparkan ke dalam lautan api dan disiksa "siang dan malam untuk selama-lamanya." Jelas bahwa ketiganya tidak dapat "dipadamkan" dengan dibuang ke dalam lautan api. Lalu mengapa nasib orang yang tidak percaya harus berbeda (Wahyu 20:14-15)? Bukti yang paling meyakinkan tentang kekalnya neraka adalah Matius 25:46, "Dan mereka ini akan masuk ke tempat siksaan yang kekal, tetapi orang benar ke dalam hidup yang kekal." Dalam ayat ini kata Bahasa Yunani yang sama digunakan untuk menggambarkan nasib orang yang jahat dan yang benar. Jika orang jahat hanya disiksa untuk satu "masa" makan orang benar juga akan mengalami hidup di surga untuk satu masa. Kalau orang-orang percaya akan di surga untuk selamanya, orang-orang tidak percaya juga akan di neraka untuk selamanya.
Keberatan lain yang umum dari kaum annihilasionis terhadap kekalnya neraka adalah bahwa tidak adil bagi Allah untuk menghukum orang-orang tidak percaya secara kekal untuk dosa yang bersifat terbatas. Bagaimana bisa adil kalau Allah menghukum secara kekal orang yang hidup berdosa misalnya untuk 70 tahun? Jawabannya " dosa kita memiliki konsekwensi kekal karena pada hakekatnya dosa kita adalah terhadap Allah yang kekal. Ketika Raja Daud berzinah dan membunuh, dia mengungkapkan, "Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat, "" (Mazmur 51:6). Daud berdosa terhadap Betsyeba dan Uria, bagaimana mungkin Daud mengklaim bahwa dia berdosa terhadap Allah? Daud mengerti bahwa semua dosa pada hakekatnya adalah terhadap Allah. Allah adalah Pribadi yang kekal dan tidak terbatas. Akibatnya, semua dosa pantas mendapat hukuman kekal. Contoh duniawi untuk hal ini adalah membandingkan antara menyerang tetangga Anda dan menyerang Presiden Amerika Serikat. Ya, kedua-keduanya adalah kejahatan, namun menyerang Presiden Amerika Serikat akan menghasilkan akibat yang lebih besar. Bukankah dosa terhadap Allah yang kudus dan tidak terbatas patut mendapat hukuman yang lebih dahsyat?
Aspek yang lebih pribadi dari annihilasionisme adalah ide bahwa kita tidak mungkin akan bahagia di surga kalau kita tahu bahwa beberapa orang yang kita kasihi menderita untuk selamanya dalam neraka. Ketika kita berada di surga, tidak ada yang perlu kita keluhkan atau sedihkan. Wahyu 21:4 memberitahu kita, "Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu." Jikalau beberapa orang yang kita kasihi tidak berada di surga, kita akan 100% sepaham bahwa itu bukan tempat mereka " bahwa mereka dihukum karena penolakan mereka terhadap Yesus sebagai Juruselamat mereka (Yohanes 3:16, 14:6). Adalah sulit untuk memahami hal ini, namun kita tidak akan menjadi sedih karena mereka tidak ada di sana. Fokus kita seharusnya tidak pada bagaimana kita dapat menikmati Surga tanpa kehadiran semua yang kita kasihi, namun pada bagaimana kita dapat membawa orang-orang yang kita kasihi pada iman dalam Kristus " sehingga mereka juga akan ada di sana.
Neraka barangkali adalah alasan utama mengapa Allah mengutus Yesus Kristus untuk membayar hutang dosa kita. "Dimusnahkan" setelah mati bukanlah nasib yang perlu ditakuti, yang perlu ditakuti adalah melewati kekekalan di neraka. Kematian Yesus adalah kematian yang tanpa batas, membayar hutang dosa kita yang tak terbatas " sehingga kita tidak perlu membayarnya di neraka (2 Korintus 5:21). Yang kita perlu lakukan hanyalah beriman kepadaNya dan kita akan diselamatkan, diampuni, dibersihkan, dan dijanjikan rumah kekal di surga. Allah mengasihi kita sedemikian rupa sehingga menyediakan keselamatan bagi kita. Jika kita menolak karunia hidup kekal ini, kita akan menghadapi konsekwensi kekal dari keputusan itu.
"Theisme terbuka" yang dikenal pula sebagai "theologia keterbukaan" dan "keterbukaan Allah" adalah usaha untuk menjelaskan apa yang Allah sudah lebih tahu dan hubungannya dengan kehendak bebas manusia. Pada dasarnya theisme terbuka mengatakan demikian: (1) manusia betul-betul bebas, (2) jika Allah sudah tahu masa depan secara mutlak, maka tidak mungkin manusia betul-betul bebas, (3) karena itu Allah tidak secara mutlak tahu tentang masa depan. Theisme terbuka mengatakan masa depan tidak dapat diketahui. Karena itu Allah tahu segala yang dapat diketahui, namun Dia tidak mengetahui tentang masa depan.
Theisme terbuka mendasarkan kepercayaan-kepercayaan ini pada ayat-ayat Alkitab yang menggambarkan Allah "mengubah pikiranNya" atau "terkejut" atau "kelihatan mendapat pengetahuan/mengetahui" (Kejadian 6:6; 22:12; Keluaran 32:14; Yunus 3:10). Dalam terang ayat-ayat Alkitab lainnya yang menyatakan pengetahuan Allah tentang masa depan, ayat-ayat tsb di atas harus dimengerti sebagai Allah melukiskan diriNya dengan cara yang dapat kita mengerti. Allah tahu apa yang akan menjadi tindakan dan keputusan kita, namun Dia "mengubah pikiranNya" dalam pengertian Dia bertindak berdasarkan tindakan kita. Allah "terkejut" dan kecewa karena kejahatan manusia tidak berarti Dia tidak mengetahui bahwa itu akan terjadi.
Dalam kontradiksi dengan Theisme Terbuka, Mazmur 139:4 dan 16 mengatakan, "Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, semuanya telah Kau ketahui, ya TUHAN " dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya." Bagaimana dalam Perjanjian Lama Allah dapat menubuatkan dengan begitu rumitnya mengenai Yesus Kristus kalau Dia tidak tahu mengenai masa depan? Bagaimana Allah dapat menjamin keselamatan kita secara kekal kalau Dia tidak tahu tentang masa depan?
Pada akhirnya, Theisme Terbuka gagal karena berusaha menjelaskan apa yang tak dapat dijelaskan " hubungan antara apa yang Allah sudah tahu terlebih dahulu dan kehendak bebas manusia. Sebagaimana Kalvinisme ekstrim gagal karena membuat manusia tidak lebih dari robot yang sudah diprogram terlebih dahulu, Theisme Terbuka gagal karena menolak kemahatahuan Allah. Allah harus dipahami melalui iman, karena "Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah (Ibrani 11:6a). Karena itu konsep Theisme Terbuka tidaklah Alkitabiah. Theisme Terbuka tidak lebih dari cara manusia yang terbatas, dengan pikirannya yang terbatas, namun berusaha memahami Allah yang tidak terbatas, sama seperti berusaha mengeringkan lautan. Theisme Terbuka haruslah ditolak oleh para pengikut Kristus. Walaupun Theisme Terbuka adalah penjelasan mengenai hubungan antara apa yang Allah sudah tahu terlebih dahulu dan kehendak bebas manusia, ini bukanlah penjelasan Alkitabiah.
Pandangan Preteris menganggap Wahyu sebagai simbol dari konflik gereja mula-mula yang telah digenapi. Pandangan ini menolak sifat nubuat masa depan dari kebanyakan bagian kitab Wahyu.
Dalam berbagai tingkat yang berbeda, pandangan ini mengkombinasikan penafsiran alegoris dan simbolik dengan konsep bahwa kitab Wahyu tidak berhubungan peristiwa-peristiwa khusus di masa depan. Gerakan Preteris pada dasarnya mengajarkan bahwa semua nubuat akhir zaman dalam Perjanjian Baru telah dipenuhi pada tahun 70 A.D. ketika Roma menyerang dan menghancurkan Yerusalem dan Israel.
Sekalipun surat-surat kepada gereja-gereja dalam pasal 2 dan 3 dari kitab Wahyu ditulis kepada gereja-gereja yang betul-betul ada pada abad pertama, dan surat-surat tsb memiliki aplikasi-aplikasi praktis untuk gereja-gereja zaman sekarang, pasal 6-22 ditulis mengenai peristiwa-peristiwa yang masih akan datang. Tidak ada alasan untuk menafsirkan nubuat yang belum terpenuhi secara alegoris. Nubuat yang sudah dipenuhi dipenuhi secara harafiah. Contohnya semua ayat Perjanjian Lama yang menubuatkan kedatangan Tuhan Yesus untuk pertama kalinya. Kristus datang sesuai dengan kapan dikatakan Dia akan datang (Daniel 9:25-26). Kristus lahir dari anak dara (Yesaya 7:14). Kristus menderita dan mati bagi dosa-dosa kita (Yesaya 53:5-9). Semua ini adalah beberapa contoh dari ratusan nubuat Perjanjian Lama yang diberikan Tuhan kepada para nabi yang tercatat dalam Alkitab dan dipenuhi secara harafiah. Adalah tidak masuk akal berusaha mengalegorikan nubuat yang belum digenapi atau memahami nubuat selain dari cara pembacaan yang normal.
Ketika Anda membaca Wahyu pasal 6-18, Anda membaca mengenai saat yang paling mengerikan yang akan terjadi di atas bumi " saat ketika sang binatang (anti Kristus) akan memerintah selama tujuh tahun (masa Penganiayaan Besar) dan ketika sang nabi palsu memperkenalkan sang binatang keseluruh dunia untuk disembah sebagai allah. Kemudian dalam pasal 19 semuanya tiba pada puncaknya dengan kedatangan Yesus secara harafiah. Kristus mengalahkan sang binatang dan nabi palsu pada perang Harmagedon dan membuang mereka ke dalam lautan api. Dalam pasal 20 Kristus membelenggu Iblis di dalam jurang yang dalam dan kemudian Kristus mendirikan kerajaanNya di atas bumi selama 1.000 tahun. Pada akhir dari 1.000 tahun itu Iblis dilepaskan dan mengakibatkan pemberontakan singkat, namun Kristus dengan cepat mematahkan pemberontakan itu dan membuang Iblis ke dalam lautan api. Kemudian penghakiman terakhir, kebangkitan dan penghakiman terhadap orang-orang yang tidak percaya. Pasal 21 dan 22 menggambarkan saat kekekalan " cara orang-orang percaya akan menikmati kehadiran dan persekutuan dengan Tuhan dalam kekekalan.
Penafsiran Preterisme sama sekali tidak konsisten dengan Kitab Wahyu. Menurut pandangan Preteris mengenai akhir zaman, pasal 6-18 dari Kitab Wahyu adalah simbol dan alegori, bukan menggambarkan peristiwa yang sebenarnya secara harafiah. Namun, menurut Preterisme, pasal 19 dipahami secara harafiah. Yesus Kristus akan kembali secara harafiah dan secara fisik. Kemudian pasal 20 kembali ditafsirkan secara alegoris oleh penganut Preteris. Kemudian pasal 21-22 dimengerti sebagian secara harafiah, bahwa akan benar-benar ada Langit Baru dan Bumi Baru. Tidak ada orang yang menyangkal bahwa kitab Wahyu mengandung penglihatan-penglihatan yang ajaib dan kadang membingungkan. Tidak ada yang menyangkal bahwa Wahyu melukiskan beberapa hal secara figuratif. Namun demikian, menolak natur harafiah dari bagian-bagian tertentu dari kitab Wahyu mengakibatkan sama sekali tidak ada dasar untuk menafsirkan bagian manapun dari kitab Wahyu secara harafiah. Kalau meterai, sangkakala, cawan, saksi-saksi, 144.000, binatang, nabi palsu, kerajaan Seribu Tahun, dll semuanya bersifat alegoris dan simbolis, berdasarkan apa kita mengklaim bahwa kedatangan Kristus yang Kedua Kalinya dan Bumi Baru bersifat harafiah? Inilah kegagalan dari Preterisme " pandangan ini menempatkan penafsiran kitab Wahyu dalam tangan penafsir. Sebaliknya, kita perlu membaca kitab itu, percaya kepadanya, dan menaatinya " secara harafiah dan tepat.
Universalisme adalah kepercayaan bahwa setiap orang akan diselamatkan. Ada banyak orang yang percaya pada pandangan "Keselamatan Universal" " konsep bahwa semua orang pada akhrnya akan masuk Surga. Mungkin membayangkan bahwa laki-laki dan perempuan hidup dalam penderitaan kekal di neraka yang menyebabkan sebagian orang menolak ajaran Alkitab dalam hal ini. Untuk sebagian orang lain, penekanan yang berlebihan terhadap kasih dan kemurahan Kristus membuat mereka percaya bahwa Allah akan berbelas kasihan terhadap semua makhluk hidup. Namun Alkitab mengajarkan bahwa ada orang-orang yang akan melewati kekekalan di neraka, sementara yang lainnya melewati kekekalan di surga dengan Tuhan.
Pertama-tama, bukti bahwa orang-orang yang tidak ditebus akan tinggal selamanya di neraka. Kata-kata Yesus sendiri mengkonfirmasikan bahwa waktu yang akan dilewatkan di surga oleh orang-orang yang ditebus akan sama panjangnya dengan waktu yang dilewatkan di neraka oleh orang-orang yang tidak ditebus. Matius 25:46 mengatakan, "Dan mereka ini akan masuk ke tempat siksaan yang KEKAL, tetapi orang benar ke dalam hidup yang KEKAL" (penekanan adalah dari saya). Beberapa orang percaya bahwa mereka yang berada di neraka pada akhirnya akan hilang lenyap, namun Tuhan sendiri meneguhkan bahwa itu akan berlangsung untuk selama-lamanya. "Api kekal" juga disebutkan sebelumnya dalam Matius 25:41. Dalam Markus 9:44 Yesus berbicara mengenai neraka sebagai "api yang tak padam." Api itu tidak akan padam karena akan terus membara.
Bagaimana seseorang dapat menghindari "api yang tak padam" ini? Banyak orang percaya bahwa semua jalan menuntun ke Surga atau mereka menganggap bahwa Allah begitu penuh kasih dan kemurahan sehingga Dia akan mengijinkan semua orang masuk surga. Allah memang penuh kasih dan kemurahan, kualitas-kualitas inilah yang membuat Dia mengirimkan anakNya, Yesus Kristus ke bumi dan mati di atas salib untuk kita. Yesus Kristus adalah pintu eksklusif yang menuntun kepada kekekalan di surga. Kisah Rasul 4:12 "Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan." 1 Timotius 2:5, "Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus." Dalam Yohanes 14:6 Yesus berkata, "Kata Yesus kepadanya: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku." Yohanes 3:16, "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya SETIAP ORANG YANG PERCAYA KEPADA-NYA tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." Jikalau orang memilih untuk menolak Anak Allah, mereka tidak memenuhi persyaratan untuk keselamatan (Yohanes 3:16, 36).
Dengan ayat-ayat semacam ini, jelaslah bahwa Universalisme dan Keselamatan Universal adalah kepercayaan yang bertentangan dengan Alkitab. Universalisme tidaklah sejalan dengan apa yang diajarkan Alkitab. Saat banyak orang yang pada zaman ini menuduh orang-orang Kristen sebagai tidak toleran dan "eksklusif," adalah penting untuk mengingat bahwa semua yang dikatakan di atas adalah kata-kata Yesus sendiri. KeKristenan tidak mengembangkan ide ini pada dirinya sendiri, orang-orang Kristen hanyalah mengatakan apa yang Tuhan sendiri telah katakan. Orang-orang memutuskan menolak berita ini karena mereka tidak mau menghadapi dosa mereka dan mengakui bahwa mereka membutuhkan Tuhan untuk menyelamatkan mereka. Mengatakan bahwa mereka yang menolak jalan keselamatan dari Tuhan, yaitu melalui AnakNya, tetap akan diselamatkan adalah meremehkan kesucian dan keadilan Tuhan dan meniadakan kebutuhan akan pengorbanan Yesus untuk kita.
Dalam teologia, konsep dualisme menganggap bahwa ada dua pihak yang berbeda - baik dan jahat - yang sama kuatnya. Dalam dualisme "Kristen," Allah mewakili pihak yang baik dan Iblis mewakili pihak yang jahat.
Namun demikian, sebenarnya sekalipun Iblis memiliki kuasa tertentu, dia tidaklah setara dengan Allah yang Mahakuasa, karena dia diciptakan oleh Allah sebagai malaikat sebelum dia memberontak (Yesaya 14:12-15; Yehezkiel 28:13-17). Sebagaimana dikatakan oleh Kitab Suci, "Kamu berasal dari Allah, anak-anakku, dan kamu telah mengalahkan nabi-nabi palsu itu; sebab Roh yang ada di dalam kamu, lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia" (1Yoh 4:4). Menurut Kitab Suci, tidak ada dualisme, kekuatan yang berlawanan yang sama kuatnya yang disebut baik dan jahat. Kebaikan, diwakili oleh Allah yang Mahakuasa, adalah kekuatan yang paling dahsyat di alam semesta, tanpa ada perkecualian. Kejahatan, diwakili oleh Iblis, adalah kekuatan yang lebih lemah yang tidak bisa menandingi kebaikan. Kejahatan selalu akan kalah dalam menghadapi kebaikan, karena Allah yang Mahakuasa, hakikat dari kebaikan, adalah maha kuasa, dan kejahatan, yang diwakili oleh Iblis, tidak demikian.
Ketika suatu doktrin menggambarkan kebaikan dan kejahatan sebagai dua kekuatan yang berlawanan yang sama kuatnya, doktrin itu bertentangan dengan posisi Alkitab yang mengatakan bahwa kebaikan, yang diwakili oleh Allah yang Mahakuasa, adalah kuasa yang dominan di alam semesta ini. Karena Iblis tidak, dan tidak akan pernah, setara dengan Allah, doktrin apapun yang mengatakan Iblis itu setara bisa dikatakan sebagai doktrin sesat. Fakta bahwa Setan dilempar keluar dari surga karena mencoba melampaui Allah tidaklah berarti Iblis sudah berhenti mencoba untuk menjadi setara atau lebih hebat dari Allah, sebagaimana yang dibuktikan oleh prinsip-prinsip dasar "dualisme" yang kebanyakan berasal dari filosofi kebijakan manusia.
Tidak pernah ada dualisme di manapun di alam semesta ini. Hanya ada satu kuasa yang mengatasi segalanya, dan kuasa itu adalah Allah yang Mahakuasa sebagaimana yang diwahyukan di dalam Alkitab kepada kita. Menurut bukti-bukti Alkitabiah, hanya ada satu kuasa yang mahakuasa, bukan dua. Karena itu, doktrin dualisme apapun yang berpendapat bahwa ada dua kuasa yang setara yang saling bertentangan (baik dan jahat) adalah doktrin yang salah.
Secara ringkas, teori JEDP mengatakan bahwa kelima kitab pertama dalam Alkitab, Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan bukanlah ditulis seluruhnya oleh Musa yang meninggal pada 1451 SM, namun oleh para penulis/perangkum yang berbeda sesudah Musa. Teori ini berdasarkan bahwa nama-nama yang berbeda digunakan untuk Allah di bagian-bagian yang berbeda dalam Pentateukh, dan ada gaya bahasa yang berbeda yang dapat dideteksi. Huruf-huruf dalam teori JEDP merupakan singkatan dari keempat penulis: penulis yang menggunakan "Jahweh" untuk nama Allah, penulis yang menggunakan Elohim untuk nama Allah, penulis ulangan (Deuteronomy) dan sifat keimaman penulis Imamat (priestly). Teori JEDP mengatakan bahwa bagian-bagian berbeda dari Pentateuks kemungkinan dirangkumkan pada abad ke-4 SM, kemungkinan oleh Ezra.
Jadi mengapa ada nama-nama berbeda untuk Allah dalam kitab-kitab yang katanya ditulis oleh penulis tunggal? Misalnya, Kejadian pasal 1 menggunakan nama Elohim, sementara Kejadian 2 menggunakan YHWH. Pola sedemikian sering sekali muncul dalam Pentateukh. Jawabannya gampang. Musa menggunakan nama-nama Allah untuk menekankan sesuatu. Dalam Kejadian 1, Allah adalah Elohim, Allah pencipta yang perkasa. Dalam Kejadian 2, Allah adalah Yahweh, pribadi yang menciptakan dan berhubungan dengan umat manusia. Ini bukan menunjukkan penulis yang berbeda, namun penulis tunggal yang menggunakan berbagai nama Allah untuk memberi penekanan dan menjelaskan aspek-aspek yang berbeda dari sifat Allah.
Mengenai perbedaan gaya, bukankah kita bisa membayangkan bahwa seorang penulis akan menggunakan gaya yang berbeda ketika menulis sejarah (Kejadian), menulis peraturan hukum (Keluaran, Ukangan) dan menuliskan detil-detil yang rumit dari sistem persembahan (Imamat)? Teori JEDP mengambil perbedaan dalam Pentateukh yang dapat dijelaskan dan menciptakan teori yang ruwet yang tidak berdasar pada kenyataan maupun sejarah. Tidak pernah ada dokumen J, E, D atau P yang pernah ditemukan. Tidak ada sarjana Yahudi atau Kristen kuno yang pernah memberi indikasi bahwa dokumen-dokumen semacam itu bahkan ada.
Lawan yang paling kuat terhadap teori JDEP adalah Alkitab sendiri. Yesus, dalam Markus 12:26 mengatakan, "Dan juga tentang bangkitnya orang-orang mati, tidakkah kamu baca dalam kitab Musa, dalam ceritera tentang semak duri, bagaimana bunyi firman Allah kepadanya: Akulah Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub?" Karena itu Yesus dengan jelas mengatakan bahwa Musalah yang menuliskan kisah semak yang terbakar dalam Keluaran 3:1-3. Lukas dalam Kisah 3:22 mengomentari ayat-ayat dalam Ulangan 18:!5 dan mencantumkan Musa sebagai penulis ayat tsb. Paulus dalam Roma 10:5 mengulas kebenaran yang dijabarkan Musa dalam Imamat 18:5. Karena itu, Paulus bersaksi bahwa Musalah penulis Imamat. Jadi kita mendapatkan Yesus yang memperlihatkan bahwa Musa adalah penulis Keluaran, Lukas (dalam Kisah Rasul) memperlihatkan bahwa Musa menulis Ulangan, dan Paulus mengatakan bahwa Musa adalah penulis Imamat. Untuk membenarkan teori JEDP, Yesus, Lukas dan Paulus haruslah dianggap sebagai pembohong atau keliru dalam memahami Perjanjian Lama. Mari kita menaruh kepercayaan kita kepada Yesus dan orang-orang yang menulis Kitab Suci dan bukannya pada teori JEDP yang kacau dan tidak berdasar (2 Timotius 3:16-17).
Pelagius adalah seorang rahib yang hidup pada akhir tahun 300an dan awal 400an A.D. Pelagius mengajarkan bahwa manusia lahir secara tak bersalah, tanpa noda dosa asal ataupun mewarisi dosa. Dia percaya bahwa Allah menciptakan setiap jiwa manusia secara langsung dan karena itu setiap jiwa manusia pada mulanya bebas dari dosa. Pelagius percaya bahwa dosa Adam tidak mempengaruhi generasi manusia di masa mendatang. Pandangan ini belakangan dikenal sebagai Pelagianisme.
Pelagianisme bertentangan dengan banyak ayat dan prinsip Kitab Suci. Pertama-tama Alkitab mengatakan bahwa kita berdosa dari sejak dalam kandungan (Mazmur 51:5). Selanjutnya Alkitab mengajarkan bahwa semua manusia mati sebagai akibat dosa (Yehezkiel 18:20; Roma 6:23). Sekalipun Pelagianisme mengatakan bahwa manusia tidak dilahirkan dengan kecenderungan terhadap dosa, Alkitab mengatakan hal yang berlawanan (Roma 3:10-18). Roma 5:12 jelas menyatakan bahwa dosa Adam adalah penyebab mengapa dosa mempengaruhi semua umat manusia. Siapapun yang pernah membesarkan anak bisa menyaksikan fakta bahwa bayi harus diajar bagaimana berbuat baik, mereka tidak perlu diajar bagaimana berdosa. Karena itu jelaslah bahwa Pelagianisme tidak Alkitabiah dan harus ditolak.
Semi-Pelagianisme pada dasarnya mengajarkan bahwa umat manusia telah dinodai oleh dosa, namun tidak sampai menyebabkan kita tidak sanggup untuk bekerja sama dengan anugrah Allah. Semi-Pelagianisme pada hakikatnya mengajarkan kejatuhan sebagian, dan bukannya kejatuhan total. Ayat-ayat Alkitab yang sama yang menolak Pelagianisme juga menolak Semi-Pelagianisme. Roma 3:10-18 jelas tidak menggambarkan manusia hanya dinodai oleh dosa secara sebagian saja. Alkitab jelas mengajarkan bahwa tanpa Allah "menarik" kita, kita tidak sanggup untuk bekerja sama dengan anugrah Allah. "Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku" (Yohanes 6:44). Sama halnya dengan Pelagianisme, Semi-Pelagianisme tidak Alkitabiah dan harus ditolak.
Panteisme adalah pandangan bahwa Allah adalah segalanya dan semua orang, dan semua orang dan segala sesuatu adalah Allah. Panteisme mirip dengan politeisme (kepercayaan pada banyak allah) namun melebihi politeisme karena mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah Allah. Pohon adalah Allah, batu adalah Allah, binatang adalah Allah, langit adalah Allah, matahari adalah Allah, Anda adalah Allah, dll. Panteisme adalah anggapan yang melatari banyak sekte dan agama sesat (e.g., Hinduisme dan Budhisme pada tahap tertentu, berbagai sekte yang mengajarkan kesatuan dan persatuan, dan penyembah "alam semesta.")
Apakah Alkitab mengajarkan panteisme? Tidak. Apa yang banyak dikelirukan orang sebagai panteisme adalah doktrin mengenai kemahahadiran Allah. Mazmur 139:7-8 menyatakan, "Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu? Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situpun Engkau" Kemahahadiran Allah berarti Dia hadir di mana-mana. Tidak ada tempat di alam semesta ini di mana Allah tidak hadir. Ini berbeda dengan panteisme. Allah ada di mana-mana, tapi Dia bukan segala sesuatu. Ya, Allah "ada" di dalam pohon dan di dalam diri seseorang, namun hal itu tidak membuat pohon atau orang itu menjadi Allah. Panteisme sama sekali bukan kepercayaan Alkitabiah.
Penolakan yang paling jelas dari Alkitab terhadap panteisme adalah dalam berbagai perintah yang melarang penyembahan berhala. Alkitab melarang penyembahan berhala, malaikat, benda-benda langit, unsur-unsur alam, dll. Kalau panteisme itu benar, tidak ada salahnya menyembah suatu benda karena benda itu sebetulnya adalah Allah. Kalau panteisme itu benar, menyembah batu atau binatang sama sahnya dengan menyembah Allah sebagai makhluk yang tidak nampak dan rohani. Larangan Alkitab yang jelas dan konsisten dalam soal penyembahan berhala adalah dalih yang konklusif yang menentang panteisme.
Relativisme moral lebih mudah dipahami dibandingkan dengan kemutlakan moral. Kemutlakan mengklaim bahwa moralitas berdasar pada prinsip-prinsip universal (hukum alam, hati nurani). Orang Kristen penganut kemutlakan percaya bahwa Allah adalah sumber utama dari moralitas bersama kita, dan karena itu moralitas tidak berubah, sebagaimana Allah juga tidak berubah. Relativisme moral mengatakan bahwa moralitas tidaklah berdasarkan suatu standar yang mutlak. Sebaliknya "kebenaran" etis bergantung pada variabel-variabel seperti situasi, budaya, perasaan, dll.
Ada beberapa hal yang dapat dikatakan mengenai alasan dari relativisme moral yang menunjukkan bahwa alasan-alasan itu patut diragukan. Pertama-tama, sekalipun banyak alasan yang dikemukakan untuk mendukung relativisme pada awalnya kedengaran bagus, ada kontradiksi logis yang terkandung di dalam kesemuanya karena semuanya mengagungkan rancangan moral "yang benar" - sesuatu yang patut kita semua ikuti. Namun ini adalah suatu kemutlakan. Kedua, mereka yang dikatakan sebagai relativis (penganut relativisme) pun menolak kebanyakan relativisme. Mereka tidak akan mengatakan bahwa pembunuh atau pemerkosa tidak bersalah sepanjang dia tidak melanggar standarnya sendiri.
Para relativis mungkin beralasan bahwa nilai-nilai yang berbeda di antara budaya yang berbeda menunjukkan bahwa moral itu bersifat relatif. Namun dalih ini mengacaukan tindakan para individu (apa yang mereka lakukan) dengan standar yang mutlak (apakah mereka boleh melakukannya). Kalau budaya menentukan benar dan salah, bagaimana kita menilai para Nazi? Toh mereka hanya mengikuti moralitas budaya mereka semata-mata. Hanya kalau pembunuhan itu salah secara universal barulah para Nazi itu salah. Bahwa mereka memiliki "moralitas sendiri" tidak mengubah hal itu. Selanjutnya, sekalipun orang yang berbeda memiliki praktik moralitas yang berbeda, semuanya memiliki moralitas umum. Misalnya, mereka yang mendukung dan menentang aborsi semuanya sepakat bahwa pembunuhan itu salah, namun mereka berbeda pendapat dalam hal apakah aborsi itu pembunuhan atau bukan. Jadi di sinipun moralitas universal yang mutlak tetap benar adanya.
Ada yang mengklaim bahwa situasi yang berubah harus juga mengubah moralitas - dalam situasi yang berbeda diperlukan tindakan yang berbeda yang mungkin tidak dapat dibenarkan dalam situasi lainnya. Namun ada tiga hal yang kita harus gunakan untuk menilai suatu tindakan: situasi, tindakan dan niat. Misalnya, kita dapat menyatakan seseorang yang berupaya membunuh (niat) itu bersalah sekalipun mereka gagal (tindakan). Jadi situasi adalah bagian dari keputusan moral, karena situasi menentukan konteks untuk memilih tindakan moral tertentu (penerapan dari prinsip universal).
Dalih utama dari para relativis adalah soal tenggang rasa. Mereka mengklaim bahwa mengatakan pada seseorang bahwa moralitas mereka itu salah adalah tidak toleran, dan relavisme bersifat tenggang rasa terhadap semua pandangan. Namun ini menyesatkan. Pertama-tama, kejahatan tidak pernah boleh ditoleransi. Apakah kita bisa bertoleransi terhadap pandangan seorang pemerkosa bahwa perempuan adalah obyek gratifikasi yang bisa disalahgunakan? Kedua, dalih itu saling bertolak belakang karena para relativis tidak dapat bertoleransi terhadap sikap tidak tenggang rasa atau kemutlakan. Ketiga, relativisme tidak dapat menjelaskan mengapa orang harus bersikap tenggang rasa. Bahwa kita harus bersikap tenggang rasa (sekalipun kita berbeda pendapat) adalah berdasarkan aturan moral yang mutlak yang mengatakan bahwa kita harus berlaku adil pada semua orang - namun kembali lagi ini adalah kemutlakan. Kenyataannya, tanpa prinsip moral yang universal tidak akan ada kebaikan.
Fakta bahwa semua orang lahir dengan hati nurani, secara naluri kita semua tahu ketika kita berbuat salah kepada orang atau orang bersalah kepada kita. Kita bertindak seolah-olah orang lain pun menyadari akan hal ini. Bahkan sebagai anak-anak pun kita mengetahui perbedaan antara "adil" dan "tidak adil." Hanya filosofi yang salah yang bisa meyakinkan bahwa kita ini salah dan relativisme moral itu benar adanya.
Politeisme adalah kepercayaan bahwa ada banyak allah. Kata itu terdiri dari "poli" yang berasal dari kata Bahasa Yunani yang berarti "banyak," dan "teisme" dari kata Yunani yang berarti "Allah." Politeisme dapat dikata merupakan pandangan teistik paling dominan dalam sejarah. Contoh politeisme yang paling terkenal dari zaman kuno adalah mitologi Yunani/Roma (Zeus, Apolo, Aphrodite, Poseidon, dll). Contoh paling jelas dari politeisme modern adalah agama Hindu yang memiliki lebih dari 300 juta allah. Meskipun Hinduisme pada hakikatnya bersifat panteistik, agama ini percaya pada banyak allah. Adalah menarik untuk dicatat bahwa dalam agama politeistik sekalipun, biasanya ada satu allah yang lebih berkuasa dibanding allah-allah lainnya, misalnya Zeus dalam mitologi Yunani/Roma dan Brahma dalam agama Hindu.
Ada yang mengatakan bahwa dalam Perjanjian Lama Alkitab mengajarkan politeisme. Memang, ada beberapa ayat yang menyebut "allah-allah" dalam bentuk jamak (Keluaran 20:3; Ulangan 10:17; 13:2; Mazmur 82:6; Daniel 2:47). Orang Israel kuno memahami dengan jelas bahwa hanya ada satu Allah yang sejati, namun mereka sering tidak hidup sesuai dengan apa yang mereka percaya, senantiasa jatuh ke dalam penyembahan berhala dan allah-allah asing. Jadi bagaimana kita memahami hal ini dan ayat-ayat lain yang berbicara mengenai banyak allah? Adalah penting untuk mengerti bahwa kata Ibrani elohim digunakan untuk menyebut satu Allah yang sejati dan allah-allah palsu/berhala. Kata berfungsi hampir serupa dengan kata "allah" secara umum.
Menyebutkan sesuatu sebagai "allah" tidak berarti dipercaya sebagai makhluk illahi. Kebanyakan ayat-ayat Perjanjian Lama yang berbicara mengenai allah-allah adalah mengenai allah-allah palsu, yaitu yang mengaku sebagai allah sekalipun bukan. Konsep ini diringkaskan dalam 2 Raja-Raja 19:18: "Dan menaruh para allah mereka ke dalam api, sebab mereka bukanlah Allah, hanya buatan tangan manusia, kayu dan batu; sebab itu dapat dibinasakan orang." Perhatikan Mazmur 82:6 ""Aku sendiri telah berfirman: "Kamu adalah allah, dan anak-anak Yang Mahatinggi kamu sekalian, namun seperti manusia kamu akan mati dan seperti salah seorang pembesar kamu akan tewas."
Alkitab jelas menentang politeisme. Ulangan 6:4 memberitahu kita, "Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!" Mazmur 96:5 menyatakan, "Sebab segala allah bangsa-bangsa adalah hampa, tetapi Tuhanlah yang menjadikan langit." Yakobus 2:19 mengatakan, "Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar." Hanya ada satu Allah. Ada banyak allah palsu dan yang mengaku sebagai allah, namun hanya satu Allah yang sejati.
Kerohanian kontemplatif adalah kebiasaan yang amat berbahaya bagi orang yang ingin hidup secara Alkitabiah dan berpusat pada Allah. Kebiasaan ini umumnya berkaitan dengan gerakan emerging church, yang dipenuhi dengan pengajaran-pengajaran yang sesat. Ini juga digunakan oleh berbagai kelompok yang memiliki kaitan yang amat renggang, kalaupun masih ada kaitannya, dengan keKristenan. Dalam praktiknya, kerohanian kontemplatif umumnya berpusat pada meditasi, namun bukanlah meditasi dalam pengertian Alkitabiah. Ayat-ayat seperti Yosua 1:8 menganjurkan kita untuk "Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung." Perhatikan apa yang seharusnya menjadi fokus dari perenungan/meditasi - Firman Allah. Meditasi yang dianjurkan oleh kerohanian kontemplatif tidak memusatkan diri pada apa pun. Orang yang melakukannya dianjurkan untuk sama sekali mengosongkan dirinya. Katanya hal ini dapat membantu orang untuk lebih terbuka pada pengalaman rohani yang lebih besar. Namun kita didorong oleh Kitab Suci untuk mengubah pikiran kita menjadi serupa dengan pikiran Kristus. Mengosongkan pikiran adalah berlawanan dengan perubahan yang aktif dan secara sadar ini.
Kerohanian kontemplatif juga mendorong pengejaran pengalaman mistis dengan Allah. Mistisisme adalah kepercayaan bahwa pengetahuan tentang Allah, kebenaran rohani dan realita tertinggi dapat dicapai melalui pengalaman subyektif. Penekanan pada pengetahuan berdasarkan pengalaman ini mengikis otoritas Kitab Suci. Kita mengenal Allah berdasarkan Firman-Nya. "Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik" (2 Tim 3:16-17). Firman Allah sudah lengkap. Tidak ada alasan untuk percaya bahwa Allah menambahkan pengajaran atau kebenaran tambahan kepada Firman-Nya melalui pengalaman mistis. Sebaliknya, iman kita dan apa yang kita ketahui tentang Allah ada berdasarkan fakta.
Situs web dari Center for Contemplative Spirituality meringkaskan dengan jelas sekali: "Setiap kita berasal dari beragam latar belakang sekuler dan agama, dan kita berupaya untuk saling memperkaya perjalanan kita melalui kebiasaan-kebiasaan rohani dan mempelajari tradisi-tradisi rohani dunia yang agung. Kita ingin lebih dekat pada Sang Roh pengasih yang meliputi semua ciptaan dan yang mengilhami belas kasihan kita pada semua makhluk." Sama sekali tidak ada sesuatupun yang Alkitabiah mengenai tujuan sedemikian. Mempelajari "tradisi-tradisi rohani" dunia adalah sesuatu yang tidak ada gunanya karena tradisi rohani apa pun yang tidak meninggikan Kristus adalah sesat. Satu-satunya cara untuk lebih dekat kepada Allah adalah melalui jalan yang Dia sudah tentukan - Yesus Kristus dan Firman-Nya.
Adalah penting adanya untuk pertama-tama mendefinisikan "doa kontemplatif." Doa kontemplatif atau doa perenungan bukan hanya sekedar "merenung sambil berdoa." Alkitab menyuruh kita untuk berdoa dengan akal budi kita (1 Korintus 14:15), jadi jelaslah bahwa doa melibatkan perenungan. Namun berdoa dengan akal budi bukanlah apa yang dimaksudkan dengan "doa kontemplatif." Doa kontemplatif lambat laun makin sering dilakukan dan makin terkenal sejalan dengan makin berkembangnya gerakan emerging church - gerakan yang menerima berbagai gagasan dan kebiasaan yang tidak Alkitabiah. Doa perenungan adalah salah satu praktik itu.
Doa kontemplatif, juga dikenal dengan "centering prayer/doa keterpusatan", adalah praktik meditasi di mana pelakunya memusatkan perhatian pada sebuah kata dan mengulangi kata itu berulang-ulang selama berdoa. Sekalipun doa kontemplatif dilakukan secara berbeda-beda oleh berbagai kelompok yang melakukannya, ada beberapa kesamaan. Doa kontemplatif termasuk memilih sebuah kata yang suci sebagai lambang dari niat Anda untuk menerima kehadiran dan karya Allah. Doa kontemplatif biasanya dilakukan dengan duduk secara nyaman dengan mata tertutup, dengan diam dan tenang mengulangi kata suci itu. Ketika pendoa kontemplatif sadar bahwa dia sementara memikirkan sesuatu, dia perlahan-lahan kembali kepada kata suci itu.
Sekalipun ini kelihatannya merupakan sebuah praktik yang tidak berbahaya, jenis doa semacam ini sama sekali tidak memiliki landasan Alkitabiah. Kenyataannya, ini bertolak belakang dengan penjabaran doa di dalam Alkitab. "Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur" (Flp 4:6). "Dan pada hari itu kamu tidak akan menanyakan apa-apa kepada-Ku. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu minta kepada Bapa, akan diberikan-Nya kepadamu dalam nama-Ku. Sampai sekarang kamu belum meminta sesuatupun dalam nama-Ku. Mintalah maka kamu akan menerima, supaya penuhlah sukacitamu." (Yoh 16:23-24) Ayat-ayat ini dan ayat-ayat lainnya dengan jelas menggambarkan doa sebagai suatu komunikasi dengan Allah dengan cara yang dapat dimengerti, bukan suatu meditasi yang esoterik dan mistis.
Doa kontemplatif, secara sengaja, berpusat pada pengalaman mistis dengan Allah. Namun demikian, mistisisme bersifat subyektif, dan bukan berdasarkan kebenaran atau fakta. Firman Allah diberikan kepada kita agar landasan iman dan kehidupan kita adalah berdasarkan kebenaran (2 Timotius 3:16-17). Apa yang kita ketahui tentang Allah adalah berdasarkan fakta; percaya pada apa yang diketahui melalui pengalaman dan bukannya catatan Alkitab, menempatkan orang di luar standar, yaitu Alkitab.
Doa kontemplatif tidak ada bedanya dengan praktik-praktik meditasi yang digunakan dalam agama-agama Timur dan pengajaran Zaman Baru. Pendukungnya yang paling vokal menerima spiritualitas terbuka dari para penganut berbagai agama, mendorong pemikiran bahwa keselamatan didapatkan melalui berbagai jalan, sekalipun Kristus sendiri mengungkapkan bahwa keselamatan hanya melalui diri-Nya (Yohanes 14:6). Doa kontemplatif, sebagaimana yang dilakukan dalam gerakan doa zaman modern, adalah bertentangan dengan keKristenan Alkitabiah dan jelas harus dihindari.
Arianisme dinamakan berdasarkan Arius, seorang pengajar dari awal abad ke-4 A.D. Salah satu perdebatan yang paling awal dan mungkin yang paling penting di antara orang-orang Kristen mula-mula adalah mengenai keillahian Kristus. Apakah Yesus benar-benar adalah Allah dalam wujud manusia atau Yesus adalah makhluk ciptaan? Apakah Yesus adalah Allah atau hanya serupa dengan Allah? Arius berpandangan bahwa Yesus diciptakan oleh Allah sebagai ciptaan pertama, bahwa Yesus adalah puncak kemuliaan dari semua ciptaan. Arianisme adalah pandangan bahwa Yesus adalah makhluk ciptaan yang memiliki atribut illahi, namun bukanlah Allah itu sendiri.
Arianisme salah memahami rujukan-rujukan yang mengatakan bahwa Yesus lelah (Yohanes 4:6) dan tidak mengetahui kapan Dia akan datang kembali (Matius 24:36). Ya, adalah sulit untuk memahami bagaimana Allah bisa capek dan/atau tidak mengetahui sesuatu, namun menurunkan Yesus sebagai makhluk yang diciptakan bukanlah suatu jalan keluar. Yesus adalah Allah yang sempurna, namun Dia juga adalah manusia yang sempurna. Yesus tidak menjadi manusia sampai saat dia berinkarnasi. Karena itu keterbatasan Yesus sebagai manusia tidak mempengaruhi sifat keillahian atau kekekalan-Nya.
Salah penafsiran kedua yang terbesar dalam Arianisme adalah arti dari "yang sulung" (Roma 8:29; Kolose 1:15-20). Para penganut Arianisme memahami "yang sulung" dalam ayat-ayat ini sebagai Yesus "dilahirkan" atau "diciptakan" sebagai ciptaan pertama. Bukanlah demikian. Yesus sendiri menyatakan keberadaan dan kekekalan-Nya (Yohanes 8:58; 10:30). Yohanes 1:1-2 memberitahu kita bahwa Yesus "pada mulanya bersama dengan Allah." Pada zaman Alkitab, anak sulung dalam suatu keluarga memiliki tempat yang terhormat (Kejadian 49:3; Keluaran 11:5; 34:!9; Bilangan 3:40l Mazmur 89:27; Yeremia 31:9) Dalam pengertian inilah Yesus disebut anak sulung Allah. Yesus adalah anggota yang terhormat dalam keluarga Allah. Yesus adalah yang diurapi, sang "Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa Kekal, Raja Damai" (Yesaya 9:6).
Setelah perdebatan selama kurang lebih satu abad di berbagai dewan gereja mula-mula, gereja Kristena akhirnya secara resmi menyatakan Arianisme sebagai doktrin sesat. Sejak waktu itu Arianisme tidak pernah lagi diterima sebagai doktrin yang dapat dipercaya dalam iman Kristen. Namun Arianisme belum mati. Arianisme terus bertahan dalam berbagai bentuk. Saksi Yehovah dan Mormon sekarang ini menganut paham yang mirip sekali dengan Arian dalam hal natur Kristus. Sama seperti gereja mula-mula, kita harus menolak segala serangan terhadap keillahian Tuhan dan Juru Selamat kita. Yesus Kristus.
Dalam injil kemakmuran, juga dikenal sebagai "Kata-Kata Iman," orang percaya disuruh menggunakan Allah, di mana kebenaran keKristenan yang sejati justru sebaliknya - Allah menggunakan orang percaya. Kata-Kata Iman atau teologia kemakmuran memandang Roh Kudus sebagai kuasa yang dapat digunakan sebagaimana yang diinginkan oleh orang-orang percaya. Alkitab mengajarkan bahwa Roh Kudus adalah Pribadi yang memampukan orang percaya menjalankan kehendak Allah. Gerakan injil kemakmuran amat mirip dengan beberapa sekte ketamakan yang merusak yang menyusupi gereja mula-mula. Paulus dan rasul-rasul lainnya tidak berkompromi atau berdamai dengan para guru palsu yang menyebarkan ajaran sesat semacam itu. Mereka menyebut mereka sebagai pengajar-pengajar sesat yang berbahaya dan menasihati orang-orang Kristen untuk menghindari mereka.
Paulus memperingatkan Timotius akan orang-orang semacam ini dalam 1 Timotius 6:5; 9-11. Orang-orang "yang tidak lagi berpikiran sehat" yang mengira ibadah itu adalah sumber keuntungan dan keinginan mereka akan kekayaan merupakan jebak yang menenggelamkan mereka "ke dalam keruntuhan dan kebinasaan" (v. 9). Mengejar kekayaan adalah jalan yang berbahaya bagi orang-orang Kristen dan sesuatu yang diperingatkan Allah: Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka" (v. 10). Kalau kekayaan merupakan tujuan yang baik untuk orang-orang saleh, Yesus pasti akan mengejar kekayaan. Namun Dia tidak melakukan itu, dan lebih suka tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya (Matius 8:20) dan mengajar murid-murid-Nya untuk bersikap serupa. Harus pula diingat bahwa satu-satunya murid yang mengejar kekayaan adalah Yudas.
Paulus mengatakan bahwa ketamakan adalah penyembahan berhala (Efesus 5:5) dan mengajarkan orang-orang Efesus untuk menghindari orang-orang yang mengajarkan berita percabulan atau ketamakan (Efesus 5:6-7). Ajaran teologia kemakmuran mencegah Allah melakukan apa yang diinginkannya, berarti Allah bukanlah Tuhan dari segalanya karena Dia tidak bisa berbuat apa-apa sampai kita memperbolehkannya. Iman, menurut pengajaran Kata-Kata Iman, bukan tunduk dan percaya kepada Allah; iman adalah rumus yang memungkinkan kita memanipulir hukum-hukum rohani yang dipercaya oleh para pengajar teologia kemakmuran sebagai sesuatu yang mengatur alam semesta. Sebagaimana yang tersirat dalam nama "Kata-Kata Iman," gerakan ini mengajarkan bahwa iman adalah soal apa yang kita katakan dan bukan soal suapa yang kita percaya atau kebenaran apa yang kita pegang dan percaya dalam hati kita.
Istilah yang paling digemari dalam gerakan Kata-Kata Iman adalah "pengakuan positif." Ini merupakan rujukan pada pengajaran bahwa kata-kata pada dirinya sendiri memiliki daya cipta. Apa yang Anda katakan, demikian kata para pengajar Kata-Kata Iman, menentukan apa yang terjadi pada diri Anda. Pengakuan Anda, khususnya pertolongan yang Anda tuntut dari Allah, harus diutarakan secara positif dan tanpa goyah. Maka Allah wajib untuk menjawabnya (sepertinya manusia dapat menuntut sesuatu dari Allah!). Jadi kesanggupan Allah untuk memberkati kita adalah bergantung pada iman kita. Yakobus 4:13-16 jelas-jelas menentang pengajaran demikian: "Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: "Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung," sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap." Jangankan mengucapkan sesuatu agar nanti terjadi, kita bahkan tidak tahu apa yang terjadi di hari esok atau apakah kita masih akan hidup atau tidak.
Daripada menekankan pentingnya kekayaan, Alkitab memperingatkan kita untuk tidak mengejarnya. Orang-orang percaya, khususnya para pemuka gereja (1 Timotius 3:3) harus bebas dari mencintai uang (Ibrani 13:5). Cinta uang menjadi akar dari segala kejahatan (1 Timotius 6:10). Yesus memperingatkan, Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu."" (Luk 12:15). Bertolak belakang dengan penekanan Kata-Kata Iman soal menumpuk uang dan harta dalam hidup ini, Yesus berkata, "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya" (Matius 6:19). Kontradiksi yang begitu besar antara ajaran kemakmuran dan Injil Tuhan kita Yesus Kristus paling tepat dirangkumkan dalam kata-kata Yesus dalam Matius 6:24, "Tak seorangpun dapat mengabdi kepada Allah dan uang."
Kritik redaksi dan kritik tinggi hanyalah beberapa dari berbagai bentuk kritik Alkitab. Tujuannya adalah untuk menyelidiki Alkitab dan menentukan pengarangnya, sejarah dan tanggal penulisannya. Kebanyakan dari metode ini pada akhirnya berusaha menghancurkan teks Alkitab.
Kritik Alkitab dapat dibagi dalam dua bentuk utama: kritik tinggi dan kritik rendah. Kritik rendah adalah upaya untuk menemukan pengalimatan asli dari teks karena kita tidak lagi memiliki tulisan aslinya. Kritik tinggi berurusan dengan keaslian teks itu. Pertanyaan yang ditanyakan antara lain: Kapan itu ditulis? Siapa yang merupakan penulis teks ini?
Banyak pengeritik dalam kubu ini tidak percaya pada inspirasi Alkitab dan karena itu menggunakan pertanyaan-pertanyaan ini untuk mengabaikan karya Roh Kudus dalam hidup para penulis Kitab Suci kita. Mereka percaya bahwa Perjanjian Lama kita tidak lebih dari sekedar kumpulan tradisi-tradisi lisan dan tidak betul-betul ditulis sampai sesudah pembuangan Israel ke Babilon pada 586 SM.
Tentu saja kita dapat melihat dalam Alkitab bahwa Musa menulis Taurat dan kelima kitab pertama Perjanjian Lama (disebut Pentateukh). Kalau kitab-kitab ini bukan benar-benar ditulis oleh Musa, dan baru ditulis betahun-tahun kemudian setelah berdirinya negara Israel, kritik-kritik ini dapat mengklaim apa yang ditulis tidak akurat, dan karena itu menolak otoritas Firman Allah. Namun ini tidaklah benar. (Untuk pembahasan mengenai bukti-bukti mengenai Musa sebagai penulis Pentateukh, silakan baca artikel mengenai teori documentary hypothesis/hipotesis dokumenter dan JEDP.) Kritik redaksi adalah gagasan bahwa para penulis Injil tidak lebih dari sekedar pengumpul akhir dari tradisi-tradisi lisan dan bukan penulis langsung yang sebenarnya dari Injil itu sendiri. Seorang pengeritik yang memegang pandangan kritik redaksi mengatakan bahwa tujuan kajian mereka adalah untuk menemukan "motivasi teologis" di balik pilihan dan rangkuman tradisi atau tulisan lainnya oleh si penulis.
Pada dasarnya apa yang kita amati dari semua bentuk kritik Alkitab adalah upaya dari beberapa kritik untuk memisahkan karya Roh Kudus dalam menghasilkan catatan tertulis Firman Allah yang akurat dan dapat diandalkan. Para penulis Kitab suci menjelaskan bagaimana asal mula Kitab Suci. "Semua tulisan yang diilhamkan Allah" (2 Timotius 3:16). Allah adalah Yang memberi manusia firman yang Dia ingin untuk dicatat. Rasul Petrus menulis, "Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri" (2 Ptr 1:20, 21). Di sini Petrus mengatakan bahwa tulisan-tulisan ini bukan merupakan khayalan manusia, sesuatu yang dihasilkan hanya karena orang ingin menulis sesuatu. Petrus melanjutkan, "Tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah." (2Ptr 1:21). Roh Kudus memberitahu mereka apa yang Dia ingin mereka tulis. Tidak ada perlunya mengeritik keotentikan Kitab Suci ketika kita bisa mengetahui bahwa di belakang layar Allah mengarahkan dan menuntun manusia untuk mencatat apa yang perlu.
Satu lagi ayat yang menarik yang berhubungan dengan ketepatan Kitab Suci. "Tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan AKAN MENGINGATKAN KAMU AKAN SEMUA YANG TELAH KUKATAKAN KEPADAMU" (Yoh 14:26 TB). Di sini Yesus memberitahu murid-murid-Nya bahwa tidak lama lagi Dia akan meninggalkan mereka, namun Roh Kudus akan menolong mereka mengingat apa yang Dia ajarkan di bumi supaya nanti mereka dapat mencatatnya. Allah berada di balik penulisan dan pemeliharaan Kitab Suci.
Ketika ketiga kitab pertama dibandingkan - Matius, Markus, dan Lukas - jelas sekali bahwa ceritanya amat serupa dalam hal isi dan ekspresi. Karena itu, Matius, Markus dan Lukas disebut "injil sinoptis." Kata "sinoptis" pada dasarnya berarti "melihat bersama dengan pandangan bersama." Banyaknya persamaan antara injil-injil sinoptis membuat beberapa orang memikirkan jangan-jangan para penulis injil memiliki sumber yang sama, tulisan lain mengenai lahirnya, hidup, pelayanan, kematian dan kebangkitan Kristus yang menjadi bahan penulisan injil-injil mereka. Ada yang berdalih bahwa Matius, Markus dan Lukas begitu miripnya sehingga pastilah mereka saling menggunakan injil yang ditulis masing-masing, atau sumber bersama lainnya. "Sumber" yang dianggap ini diberi nama "Q" dari kata bahasa Jerman quelle yang berarti "sumber."
Apakah ada bukti mengenai "Q?" Tidak ada. Sama sekali tidak ada bagian atau fragmen "Q" yang pernah ditemukan. Tidak seorangpun bapak gereja awal yang pernah menyebut "sumber" injil dalam tulisan-tulisannya. "Q" adalah penemuan para "sarjana" liberal yang menyangkal inspirasi Alkitab. Mereka percaya bahwa Alkitab tidak lebih dari sekedar karya sastra, yang tunduk pada kritik yang sama dengan yang dilakukan pada karya sastra lainnya. Sekali lagi sama sekali tidak ada bukti apa pun untuk dokumen "Q" " baik secara alkitabiah, teologis maupun secara historis.
Kalau Matius, Markus dan Lukas tidak menggunakan dokumen "Q", mengapa injil-injil mereka begitu serupa? Ada beberapa penjelasan yang mungkin. Ada kemungkinan injil manapun yang pertama kali ditulis (kemungkinan Markus), para penulis Injil lainnya memiliki akses pada injil itu. Sama sekali tidak ada masalah kalau Matius dan/atau Lukas mengopi beberapa ayat dari injil Markus dan menggunakannya dalam injil mereka. Mungkin Lukas memiliki akses pada Markus dan Matius dan menggunakan teks dari keduanya dalam injilnya sendiri. Lukas 1:1-4 memberitahu kita, "Banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita, seperti yang disampaikan kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah saksi mata dan pelayan Firman. Karena itu, setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu, supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar."
Pada akhirnya, penjelasan mengenai mengapa Injil Sinoptis begitu serupa adalah bahwa ketiganya diilhami oleh Roh Kudus yang sama, dan semuanya ditulis oleh orang-orang yang menyaksikan, atau diberitahu mengenai, peristiwa yang sama. Injil Matius ditulis oleh Rasul Matius, salah seorang dari keduabelas murid yang mengikuti Yesus dan diutus oleh-Nya. Injil Markus ditulis oleh Yohanes Markus, rekan dekat rasul Petrus, salah seorang dari kedua belas rasul. Injil Lukas ditulis oleh Lukas, rekan dekat rasul Paulus. Kenapa cerita mereka lalu tidak amat mirip? Setiap injil itu pada dasarnya diilhami oleh Roh Kudus (2 Timotius 3:16-17; 2 Petrus 1:20-21). Karena itu dapat diharapkan adanya kecocokan dan kesatuan.